MAKALAH SYARI'AT ISLAM


BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
            Keistemewaan ajaran Islam daripada ajaran agama lainnya adalah sisi universalitasnya. Ajaran-ajaran samawi terdahulu, selalu ditujakan kepada kaum tertentu. Sedangkan ajaran Islam diturunkan untuk seluruh umat, baik manusia ataupun jin (kaffah li al-alamin). Telah dimaklumi, bahwa perundang-undangan manapun harus selaras dengan kondisi dan relevansi pihak yang dibebani undang-undang tersebut. Umat Nabi Adam as bisa merasakan kelonggaran syari’at berupa kebolehan menikahi saudara sendiri, karena pada saat itu populasi manusia baru dari satu keturunan. Sedangkan umat Nabi Musa as harus merasakan ketatnya syariat, karena dalam menghadapi Bani Israel yang terkenal keras kepala, membutuhkan langkah-langkah preventif dengan menerapkan undang-undang yang sekiranya dapat membuat mereka jera. Sedangkan syari’at Nabi Muhammad saw (Islam) yang ditujukan untuk seluruh makhluk di dunia ini, baik manusia atau jin, tentunya harus membentuk undang-undang (syari’at) yang bisa diterima oleh semua kalangan.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian syariat ?..
2.      Apa prinsip-prinsip syariat ?..
3.      Bagaimana pandangan liberal mengenai syariat ?
4.      Apa tujuan syariat ?
1.3 Tujuan
1.      Dapat mengetahui dan memahami tentang syariat islam.
2.      Dapat mengatahui penetapan dan prinsip-prinsip syariar islam.
3.      Agar dapat mengetahui dan paham akan tujuan ditetapkannya syariat islam.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN SYARIAT

Pengertian  Syariat menurut bahasa :

Secara bahasa syariat berasal dari kata syara’ yang berarti menjelaskan dan menyatakan sesuatu atau dari kata Asy-Syir dan Asy Syari’atu yang berarti suatu tempat yang dapat menghubungkan sesuatu untuk sampai pada sumber air yang tak ada habis-habisnya sehingga orang membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk mengambilnya.
Pengertian syariat secara istilah :
Menurut istilah, syariah berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta.
Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh syariah Islam. Syariah Islam mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang saleh.[1]
Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu),berarti Syari’at Islam adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang diturunkan Allah Subhaanahu wata’ala. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad Salallohu alaihi wassalam, baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
           Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam
Firman Alloh Subhaanahu wata’ala :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”[2]


Allah Subhaanahu wata’ala berfirman :

”Kemudian  Kami jadikan kamu berada diatas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”[3]

mensyariatkan  untuk mereka agama yang tidak di izinkan Allah?sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang sangat pedih.”[4]


At Thahanawi  juga mengemukakan definisi syariat yaitu :
“Syari’at ialah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang disampaikan oleh salah seorang nabi dari nabi-nabi (sallallahu ‘alaihim dan sallallahu ‘ala nabiyyina wa sallam), baik hukum-hukum tersebut mengenai amal perbuatan, maupun mengenai akidah.”[5]
  Syariat Islam mempunyai beberapa keistimewaan yaitu :
1. Rabbaniyah yang bermaksud bercirikan ketuhanan. ( Hukum/Peraturan ini datangnya                                                                     dari Tuhan Pencipta yang sudah semestinya yang terbaik untuk diikuti oleh makhluk ciptaanNya )
 2. Syumuliyah yang bermaksud lengkap. ( Peraturannya merangkumi segenap aspek kehidupan tanpa ada kekurangan )
 3. Alamiyah yang bermaksud sejagat. ( Peraturannya sesuai untuk semua lapisan manusia tanpa batasan masa atau geografi )
 4. Kekal. ( Peraturannya dijamin terpelihara sehingga ke hari Kiamat )
 5. Balasan duniawi dan ukhrawi[6]

2.2  PRINSIP-PRINSIP SYARIAT ISLAM
PRINSIP-PRINSIP SYARIAT (TASYRI’) DALAM AL-QURAN :

A.    Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj)
Dalam menetapkan syariat Islam, al-Quran senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah) kepada mansusia, agar menerima ketetapan hukum dengan kesanggupan yang dimiliknya.

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…
(QS. Al-Baqarah: 286)

            Al-Syatibi mengatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syari’at hukum mutlak dalam menerima ketetapan hukum syari’at. Ketetapan hukum yang tidak terjangkau oleh kemampuan manusia melihat prinsip ini  tidak sah ditetapkan kepada manusia. Hal ini telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama, baik dari kalangan Mu’tazilah (rasionalis) maupun sebagian pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis).
Dalam menetapkan hukum, Allah Subhaanahu wata’ala. Senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan madlarat yang mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis dari pelaksanannya. Karena itu, Abu al-A’la al-Maududi menyebutkan, “Allah membuat undang-undang syari’at untuk mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa ekses negatif (madlarat) dan menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfa’at)”.
Namun bukan berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan hukum yang sulit dalam pelaksanaannya. Sebab menurut al-Syatibi, hukum sendiri merupakan beban, sehingga kesulitan umum yang biasa dialami masyarakat, misalnya sulit mencari nafkah, tidak termasuk dalam kategori ‘adam al-haraj diatas.Karena kesulitan yang sifatnya seperti itu tidak lain timbul dari kemalasan atau belum adanya keberuntungan
Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau dari kacamata syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah versi masyarakat seringakli dijadikan dalih untuk meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari kemudahan dalam bearamal.

B.     Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif)
Prinsip kedua ini merupakan langkah prenventif (penanggulangan) terhadap mukallaf dari pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini guna memperingan dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu pelaksanaan hukum tanpa didasari parasaan terbebani yang berujung pada kesulitan.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (١٠١)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya akan menyusahkan kalian....(QS. al-Maidah: 101)

Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya ayat ini adalah ketika Nabi sedang berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba seorang diantara mereka bertanya, “Siapakah bapakku?”. “Si Fulan!” Jawab Nabi. Ada pula yang bertanya, “Siapakah nama ayahku?” atau “Di mana untaku?” kemudian turunlah ayat di atas sebagai teguran atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Bahkan mungkin bisa menyusahkan si penanya sendiri. Karena, jawaban yang akan ia terima merupakan baban dari si penanya sendiri. Padahal prinsip agama adalah pengurangan terhadap beban. (taqlil al-taklif).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Nabi ketika menerima ayat al-Quran menafsirkan sesuai kebutuhan masyarakat pada saat tiu. Sedangkan yang tidak dibutuhkan didiamkan saja, dengan maksud nantinya ayat-ayat tersebut dapat ditafsiri sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi di masyarakat pada masa yang akan datang. Prinsip ini telah disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya. Dan dia telah menetapkan ketentuan-ketentuan, maka janganlah kalian melampauinya. Dia juga telah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah kalian merusaknya, serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat buat kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian membicaraknnya.”

C.    Penetapan Hukum secara Periodik
Al-quran merupakan kitab suci yang dalam prosesi tarsi’(penetapan hukum)’ sangat memperhatikan berbagai aspek, baik natural, spiritual, kultural, maupun sosial umat. Dalam menetapkan hukum, al-Quran selalu mempertimbangkan, apakah mental spiritual manusia telah siap untuk menerima ketentuan yang akan dibebankan kepadanya?. Hal ini terkait erat dengan prinsip kedua, yakni tidak memberatkan umat. Karena itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara serta merta dengan format yang final, melainkan secara bertahap, dengan maksud agar umat tidak merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan kami kemukakan tiga periode tasryi’ al-Quran;

Pertama, mendiamkan, yakni ketika al-Quran hendak melarang sesuatu, maka sebelumnya tidak menetapkan hukum apa-apa tapi memberikan contoh yang sebaliknya. Sebagai contoh, untuk menetapkan keharaman minuman khamr. Sebagai langkah pertama, yang dilakukan syari’ (Nabi Muhammad Sallahu alaihi wassalam) adalah mendiamkan kebiasaan buruk, akan tetapi Nabi sendiri menghindarinya.
Kedua, menyinggung manfat ataupun madlaratnya secara global. Dalam contoh khamr di atas, sebagai langkah kedua, turun ayat yang menerangkan tentang manfaat dan madlarat minum khamr. Dalam ayat tersebut, Allah menunjukkan bahwa efek sampingnya lbih besar daripada kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah: 219) yang kemudian segera disusul dengan menyinggung efek khamr bagi pelaksanaan ibadah (al-Nisa: 43)

Ketiga, menetapkan hukum tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan hukum haram minum khamr secara tegas, sebagai langkah yang paling akhir (QS.al-Maidah: 90)
Demikian juga dalam menetapkan hukum yang bersifat perintah. Kewajiban shalat misalnya. Tahap pertama terjadi permulaan Islam (di Mekah), di saat umat Islam banyak menuai siksaan dan penindasan dari penduduk Mekah, kewajiban shalat hanya dua raka’at, yaitu pada pagi dan sore. Itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi, khawatir terjadi penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari suku Qurasy.


فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ (٣٩)

“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah (shalatlah) sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)”)Q.S Qaf : 39)

فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ (٥٥)

“Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah (shalatlah) seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi” (Q.S al-Mu’min: 55)

Ketika penderitaan umat telah menyurut dengan dicabutnya pemboikotan atas Bani Hasyim, dumulailah tahap kedua pelaksanaan shalat. Hal itu dimulai setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj dimana Nabi membawa perintah dari Allah swt. Untuk melaksanakan shalat lima waktu. Dalam hal ini Nabi bersabda, “Pada Malam Isra’ Allah swt, mewajibkan kepada umatku lima puluh shalat. Tak henti-hentinya aku meminta keringanan, hingga kemudian kewajiban itu menjadi lima (kali) dalam sehari semalam.

Perintah dalam ayat tersebut kemudian dijabarkan secara jelas oleh Nabi sebagai kewajiban shalat lima waktu, sebagaimana perintah Nabi ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, “Kabarkan kepada mereka (penduduk Yaman), bahwasannya Allah swt telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.”
Akkhirnya ketika umat Islam telah mulai merasakan ketenangan di negeri baru mereka, Madinah, turunlah kewajiban-kewajiban yang sifatnya lebih terperinci, yaitu dimulai dengan syarat-syarat shalat berupa wudlu dan tayamum (QS. Al-Maidah: 6), serta rukun-rukn (teknis) pelaksanaan shalat. Teknis pelaksanaan shalat sendiri merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi saw. Beliau bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.

       D. Sejalan dengan Kemaslahatan Universal
Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, gama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam.
Islam bukan hanya doktrin belaka yang identik dengan pembebanan, tetapi juga ajaran yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia. Karenanya, segala sesuatu  ini merupakan fasilitas yang berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. ‘Abd al-Wahab Khalaf  berkata, “Dalam membentuk hukum, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat (ratio logis) yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia, juga menunjukkan bebrapa bukti bahwa tujuan legislasi hukum tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Di samping itu, Syar’i menetapkan hukum-hukum itu sejalan dengan tiadanya illat yang mengiringinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada kemaslahatan yang sebanding
Dengan hukum tersebut.
      
   E. Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)
Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah.

وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

… Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil.... (QS. Al-Nisa: 58)

        Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan demi pemeliharaan martabat manusia (basyariyah insaniyah)[7]

2.3 PANDANGAN ORANG LIBERAL MENGENAI SYARIAT ISLAM
Faraj Fawdah, seorang tokoh liberal Mesir, dalam salah satu acara debat pernah menyatakan: “Secara sederhana saya menolak penerapan Syariat Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau step by step… karena saya melihat dalam penerapan Syariat Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negara agama)… barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sendirinya dapat menerima applikasi Syariat Islam… dan barangsiapa menolaknya maka dia menolak penerapan Syariat Islam.” (Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syari’ah, h.14).
Bagi kaum Muslim, penerapan Syariat Islam menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, keluarga, masyarakat, maupun negara. Ibadah shalat, zakat, haji, pernikahan, perdagangan, dan sebagainya, adalah sebagian aspek kehidupan yang terikat erat dengan syariat. Namun, harus diakui, ada saja sementara orang Muslim sendiri yang syariat-fobia.
Diantara sebagian argumen yang dikemukakan untuk menolak syariat Islam adalah bahwa hukum Islam yang ada sekarang tidak sensitif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Hukum-hukum Islam dikandung dalam al-Qur’an dan dielaborasi oleh oleh para faqih dan mufassir sudah ketinggalan zaman; ia tidak dapat menciptakan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia hari ini. Padahal, kata mereka ‘kemaslahatan’ merupakan tujuan dan asas dari Syariat itu sendiri. Apabila sesuatu hukum itu tidak lagi mampu menciptakan kemaslahatan, maka sudah selayaknya ditinggalkan saja dan diganti dengan hukum lain yang lebih dapat mewujudkan kemaslahatan. Untuk memperkuat argumen ini mereka gunakan teori ‘Maqasid syariah’ yang dikembangkan dan dipopularkan oleh al-Syatibi.
Dengan kata lain hukum-hukum yang terkadung dalam al-Qur’an itu sangat dipengaruhi dan dipenuhi oleh nuansa masyarakat Arab ketika itu. Sistem hukum yang dibangunnya pun adalah merefleksikan sturuktur sosial-budaya, serta ekonomi dan politik masyarakat abad ketujuh. Berdasarkan hal ini, katanya, maka adalah salah besar bagi mereka untuk mengadopsi dan selanjutnya mengaplikasikan hukum ini pada zaman sekarang, karena ia sudah tidak sesuai lagi.
Kedua, — masih berhubungan dengan argumen pertama – digunakannya prinsip Maqasid Syari’ah. Banyak kaum liberal berpendapat bahwa setiap hukum yang diperintahkan Allah mempunyai tujuan/maqasid utama. Tujuan itu adalah kemaslahatan manusia. Kata Fazlur Rahman: “The Qur’an always explicates the objectives or principles that are the essence of its law.” (1979:154).
Seorang cendekiawan Indonesia, murid Fazlur Rahman pernah berendapat, bahwa bagi mayarakat Arab, hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina dapat menciptakan kemasalahatan bagi masyarakat ketika itu. Karena dalam masyarakat yang kasar dan ganas, katanya, hukuman seperti itulah yang pantas dan layak untuk dilaksanakan. (Abdullah Saeed, 1997:286). Muhammad ‘Abid al-Jabiri menulis, bahwa “(hukum) potong tangan merupakan peraturan rasional yang sangat tepat untuk masyarakat baduwi padang pasir yang penduduknya hidup tanpa ikatan dan nomadik.” (1996:171).

 2.4  Nash dan Tujuan Syariat
Ulama bersepakat, bahwa antara nash dan tujuan (maqasid), tidak dapat dipisahkan. Imam al-Ghazali yang kemudian mensistemasikan Maqasid Syariah ini menjadi tiga kategori: daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. (Shifa’ al-Ghalil, h. 161-172). Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi. Dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa: “Hal ini (maksudnya maslahah) mestilah menjadi bagian dari Syariat, karena tujuan utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (masalih).” (Al-Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah juga menekankan hal yang sama: “Bahwa Shariat hadir untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.” (Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48).
Pergantian masa tidak lantas menjadikan konsep kemaslahatan ini berubah. Ia tetap menjadi pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis Islam kontemporer dalam menjabarkan kandungan Syariat Islam. Disinilah letak kekeliruan kaum esensialis yang secara membabi buta menuduh kelompok pro-Syariat sebagai literalis yang mengorbankan prinsip maqasid.
Muhammad Qutb menulis: “Pemimpin yang dipercaya mestilah berbuat sesuai dengan (prinsip) mashalih al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan tujuan akhir Syariat (Maqashid al-Syari’ah). Pemimpin berhak untuk beradaptasi dengan berbagai isu yang berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Akan tetapi dia hendaklah berpegang pada (prinsip) maqasid sebagai standar hukum dalam membuat keputusan.” (1991:39).
Menurut al-Qaradawi: “Adapun nas yang secara transmisi dan makna qath’iy tidak mungkin bertabrakan dengan maslahah qath’iyah. Karena sesama qath’iyyat tidak mungkin berlaku kontradiksi” . Berdasarkan keyakinan inilah tak seorang ulama pun yang berani mengatakan hukum hudud, qisas, waris, jilbab, dan seterusnya tidak relevan lagi pada saat sekarang ini karena bertentangan dengan maslahah manusia.
Anggapan bahwa hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari ini telah ditepis oleh banyak penulis. Sa’id Ramadan al-Buti  menjelaskan bahwa salah satu unsur penting dari sesuatu hukuman adalah al-qaswah (keras). Kalaulah unsur ini hilang niscaya hilanglah makna sesuatu hukuman. Perlu diingat bahwa kekejaman hukuman itu sesuai dengan kekejaman yang dilakukan oleh si kriminal (the principle of retribution). Dengan begitu prinsip keadilan yang merupakan salah satu maqasid Syari’ah sudah terpenuhi.
Imam Syatibi, tokoh yang mempopularkan teori Maqasid, dalam al-Muwafaqat, menyatakan: “Tidak ada perubahan padanya (pada hukum yang diperintahkan Allah secara jelas dan kategorikal), meskipun pandangan para mukallaf (orang dewasa) berbeda-beda. Maka tidak sah sesuatu yang baik berubah buruk dan buruk menjadi baik sehingga dikatakan misalnya: bahwa membuka aurat sekarang ini bukan lagi aib atau sesuatu yang buruk, dan oleh sebab itu wajar untuk dibolehkan. Atau semisal ini. Andaikan hal ini diterima, maka ia merupakan penasakhan (penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan kontiniu. Dan nasakh sesudah wafatnya Rasullah adalah sesuatu yang batil.” (Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, 2:209)[8]
Itulah prinsip-prinsip pemikiran syariat Islam. Tentu, dalam aplikasinya, banyak syarat-syarat dan kebijakan yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan syariat itu sendiri. Kadangkala, karena salah paham, muncul syariat-fobia, ketakutan yang berlebihan terhadap syariat. Hukum qishas, misalnya, meskipun tegas dan keras, tetapi disertai dengan konsep ampunan dari ahli waris – konsep yang tidak dijumpai dalam hukum Barat. Hukum potong tangan, hanya bisa diterapkan dengan syarat-syarat dan batas yang ketat. Orang yang mencuri karena keterpaksaan akibat lapar, tidak dikenai sanksi hukum. Hukum rajam, mensyaratkan adanya empat saksi yang langsung menyaksikan peristiwa zina, dan ini teramat sulit dipenuhi.


Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep keadilan, dan pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-tidaknya suatu penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim, penguasa, dan juga rakyat. Wallahu a’lam bil-shawab.[9]

 BAB III PENUTUP

3.1                        Kesimpulan

Syariat adalah  hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah Subhaanahu wata’ala. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terangnya  cahaya hidayah, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Prinsip dalam syariat diantaranya adalah :
a.       Tidak Mempersulit (‘Adam al-Haraj)
b.      Mengurangi Beban (Taqlil al-Taklif)
c.       Penetapan Hukum secara Periodik
d.      Sejalan dengan Kemaslahatan Universal
e.       Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)
                Pandangan orang liberal bahwa hukum Islam yang ada sekarang tidak sensitif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Berdasarkan hal ini, katanya, maka adalah salah besar bagi mereka untuk mengadopsi dan selanjutnya mengaplikasikan hukum ini pada zaman sekarang, karena ia sudah tidak sesuai lagi.
                 Pandangan orang liberal tersebut adalah bathil karena Tujuan syariat menurut  Fakhruddin al-Razi dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa: “ tujuan utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (masalih).” (Al-Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah juga menekankan hal yang sama: “Bahwa Shariat hadir untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.” (Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48).
 Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep keadilan, dan pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-tidaknya suatu penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim, penguasa, dan juga rakyat. Wallahu a’lam bil-shawab.


DAFTAR PUSTAKA
  











[2] Q.S al-maidah (5) : 101
[3] Q.S Al-jatsiah (45) : 18
[4] Q.S Asy syuura (42) : 21
[5] http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin
[7] http://milaisma.blogspot.com/2009/12/prinsip-prinsip-syariat-tasyri-dalam-al.html
[8] http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin
[9] http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.