SIKAP PEMIKIR ISLAM TERHADAP REKONSTRUKSI ISLAMI DAN PSIKOLOGI


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur  hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’alakepada-Nya kita memuji dan bersyukur, memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya pula kita memohon perlindungan dari keburukandiri dan syaiton yang selalu menghembuskan kebatilan. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barangsiapa disesatkan oleh-Nya maka tak seorang pun dapat memberi petunjuk kepadanya. Sholawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam beserta keluarga, sahabat, juga pada orang-orang yang senantiasa mengikuti sunnah-sunnahnya.
Dengan rahmat dan pertolongan-Nya alhamdulillah makalah yang berjudul “Sikap pemikir Islam terhadap rekonrtruksi Islami dalam psikologi” ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari banyak sekali kekurangan penulis dalam menyusun makalah ini, oleh karena itu penulis senantiasa meminta kritik dan saran dari pembaca sekalian,khususnya bagi pihak yang berkewajiban dalam memberikan kritik dan saranya dan semoga dengan hal ini bisa bermanfaat bagikami.


                                                                                                Bogor, 3April 2014
                                      
                                                                                                Penulis

DAFTAR ISI

Hal.
KATA PENGANTAR......................................................................................................... 1
DAFTAR ISI........................................................................................................................ 2
BAB I                         PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................... 3
B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 3
C.     Tujuan........................................................................................................ 3
BAB II            PEMBAHASAN
A.    Sikap (Pandangan ) Pemikir Islam terhadap Rekonstruksi Islami Untuk Psikologi         4
B.     Pemikir Islam dan Rekonstruksi Islami untuk Psikologi .......................... 8
BAB III          PENUTUP
Kesimpulan .....................................................................................................  14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 16




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Psikologi pada awal kemunculannya merupakan salah satu bagian dari cabang filsafat, kemudian menjadi disiplin ilmu yang mandiri mulai pertengahan abad XIX yang berkembang di Barat (Eropa). Baru setelah melewati beberapa fase psikologi pun masuk dalam ranah keilmuan Islam. Namun psikologi yang berasal dari Barat tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang ada di lingkungan Islam sehingga menimbulkan krisis ilmu psikologi di lingkungan Arab dan Islam. Dalam hal ini Dr. Fu’ad Abu Hatab berpendapat, “konsep psikologi (di lingkungan Arab dan Islam) harus dibentuk sendiri oleh para psikolog muslim. Konsep yang ditelurkan oleh psikolog barat tidak akan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang ada di lingkungan Arab dan Islam. Yang bisa menyesuaikannya hanyalah apabila psikolog muslim berkolaborasi dalam membentuknya.”
Maka dapat dipahami bahwa perlu adanya konsep yang bernuansa Islam dalam psikologi. Merubah pola pandang psikologi Barat kontemporer yang antroposentris dan netral etik menjadi psikoligi Islami teosentris dan sarat etik. Maka dari sini muncul beberapa penamaan mengenai usaha pengubahan pola pandangan tersebut, seperti Islamisasi psikologi, pengislaman psikologi, psikologi islami, dan konsep murni Islam psikologi. Juga banyak nama lainnya yang tujuannya mengenalkan gagasan rekonstruksi Islami dalam kajian psikologi.
Dalam disertasi ilmiah doktoralnya, yang berjudul At-Ta’shil al-Islami lil Dirasaat an-Nafsiyah, Muhammad Izzudin Taufiq menyatakan bahwa konsep murni Islami tidak akan terbentuk gambarannya kecuali bila dipahami pembahasan tentang rekonstruksi syar’i, ilmu, dan juga sejarah. Adapun mengenai rekonstruksi syar’i beliau memaparkan menjadi tiga sudut pandang, yaitu 1) pandangan atau sikap Al-Qur’an dan as-Sunnah terhadap rekonstruksi Islami pada kajian psikologi; 2) sikap ushul fiqh terhadap rekonstruksi Islami pada kajian psikologi dan; 3) sikap pemikir Islam terhadap rekonstruksi Islami pada kajian psikologi.
Maka di sini kami hanya akan memaparkan poin yang ketiga yaitu, sikap pemikir Islam terhadap rekonstruksi Islami pada kajian psikologi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sikap pemikir Islam terhadap rekonstruksi Islami untuk psikologi?
2.      Bagaimanakah metode  yang dilakukan dalam upaya rekonstruksi Islami untuk psikologi?
3.      Apa perbedaan antara psikologi Islam dan psikologi Islami?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui pandangan atau sikap pemikir Islam terhadap rekonstruksi Islami untuk psikologi?
2.      Mengetahui metode yang dilakukan dalam upaya rekonstruksi Islami untuk psikologi?
3.      Mengetahui perbedaan antara psikologi Islam dan psikologi Islami?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sikap (Pandangan ) Pemikir Islam terhadap Rekonstruksi Islami Untuk Psikologi

a.      Proyek Rekonstruksi Islam bagi ilmu Pengetahuan dalam Lingkup Umum
Rekonstruksi Islami pada kajian psikologi hanyalah bagian kecil dari rekonsrtuksi peradaban besar di mana pemikiran Islam modern akan bangkit dan merealisasikan apa yang disebut Islamisasi ilmu pengetahuan.[1]
Sementara itu, definisi Islamisasi ilmu pengetahuan itu berbeda-beda tergantung pembawa konsepnya. Dari segi istilah, al-Attas–sang penggagas awal–menerjemahkan atau memberikan istilah untuk Islamisasi ilmu pengetahuan dengan Islamization of Contemporary or Present Day Knowledge. Dalam bahasa Arab, disebut dengan Islamiyyat al-‘Ulum al-Mu’ashirah. Menurut al-Attas, yang perlu diIslamkan adalah ilmu pengetahuan kontemporer atau sains Barat sekarang ini. Ilmu-ilmu agama atau turats Islam tidak termasuk ke dalam proses Islamisasi karena ia tidak pernah terpisah dari Tuhan sebagai hakikat yang sebenarmya dan sumber segala ilmu. Hal ini untuk membedakan proses “Islamisasi” di masa Abad Pertengahan Islam.[2]
Sedangkan al-Faruqi menyebut istilah Islamisasi ilmu pengetahuan dengan Islamization of Knowledge (IOK), dan istilah ini yang paling sering disebut. Dalam bahasa Arab disebut dengan Islamiyyatul Ma’rifah yang bermakna bahwa segala disiplin ilmu (baik kontemporer maupun tradisi Islam) mesti “diIslamkan”. Namun, istilah ini banyak ditentang terutama oleh al-Attas karena mengandung arti semua ilmu, termasuk ilmu-ilmu agama juga harus di-Islamkan. Bagi al-Faruqi, Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan usaha untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisai berhubung data itu, menilai kembali kesimpulan dan tsfsiran, membentuk kembali tujuan, dan melakukannya secara membolehkan disiplin itu memperkaya visi dan perjuangan Islam.[3]
Kemudian, Md Golam Mohiuddin asisten Professor  Departement of Management Islamic University, Kushtia Bangladesh menyatakan, “Makana dari Islamisasi ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan bentuk kehidupan praktis, kemudian ketidakpercayaan, keragu-raguan, dan rasa pesimistik. Kemudian merestrukturisasikan melalui analisa-analisa dan penjelasan dalam kalimat Allah SWT dan hadits Rasulullah SAW.”[4]
Dalam tahap rekonstruksi ini kita masih membahas dan menentukan alternatif Islami untuk kajian psikologi, sosiologi, ilmu ekinomi, ilmu sastra dan banyak lainnya. Semuanya membutuhkan definisi syar’i dan ini adalah tugas penting para pemikir Islam untuk bisa menentukannya pada masa transisi ini.[5]
Korelasi yang mengikat antara pemikir Islam dengan proyek rekonstruksi Islami pada ilmu pengetahuan sangat kuat terjadi. Dinamika proyek rekonstruksi rentan terhadap semua dinamika pemikir Islam.[6]
Dalam salah satu diskusi pada seminar bertemakan Ta’shil islamy lil’ulum insaniyah[rekonstruksi Islami pada ilmu-ilmu humaniora], yang di selenggarakan oleh fakultas sastra di Dar Baidha, salah satu nara sumber mengatakan,”Kenyataanya rekonsruksi islami pada ilmu-ilmu humaniora dalam masyarakat tidak akan sesusai dengan syariat Allah dan juga tidak akan mampu menegakan hokum-hukum Allah.” Ia berpendapat demikian karena dalam pandanganya, rekonstruksi Islami pada ilmu-ilmu humaniora hanya bisa di lakukan setelah adanya penerapan syariah Islam pada masyarakat.[7]
Dinamika pemikiran tidak kalah penting dengan dinamika politik. Keduanya adalah dua sisi penting dalam membangun suatau peradaban yang lebih maju. Itulah sebab mengngapa islam lebih mengaitkan proyek rekonstruksi islam pada sisi pemikiran dan bikan politik. Hilangnya satu sisi (politik) tidak menunjukan mandeknya sisi lainya (pemikiran).[8]
Dr. Yusuf al-Qhorodhowi ketika membahas syarat yang harus dipenuhi demi tegaknya syariat islam dan penerapanya pada masa modern ini mengatakan
“Agar syariat Islam sukses diaplikasikan dalam kehidupan kita yang modern ini, maka sudah selayaknya kita memberikan selamat dan penghargaan yang tinggi pada orang-orang yang meyakini keadilan syariat dan mematuhinya dengan penuh keridhaan. Juga kepada hakim yang meyakini kesucian syariat dan tidak pernah memainkan  ataupun menyimpangkan nash-nashnya karena ketamakan ataupun sekedar mengikuti hawa nafsunya. Juga kepada para pemimpin dan penguasa yang tegas dalam mengawasi tegaknya syariat dan aplikasinya dalam kehidupan tanpa ada contoh ataupun over-acted.
Dengan katalain, harus di munculkan kembali semangat ke-Islam-an dan di bentuk lagi satu pribadi Islami yang memotifasi setiap individu untuk bisa mengaplikasikan syariat Islam. Pribadi inilah yang dimaksud dengan “otak Islam” yakni yang berpikir dari sisi pandang Islam dalam memutuskan segala sesuatunya dan menyikapai semua  peristiwa, individu dan keadaan, sebagaimana layaknya seorang muslim berintraksi dengan apapun dan siapapun sesuai dengan konsep Islami.”[9]
Pemikir Islam tidak akan mungkin bisa menjalankan fungsinya bila tidak didukung dengan keyakinan yang sempurna pada Islam dan pengaplikasian syariat Islam, dan bahkan dengan keyakinan bahwa Islam lebih unggul dari yang lainnya. Adapun konsep Rasulullah yang menjadi mengantarkan para sahabat kepada keyakinannya yang sempurna dan totalitas keridhaan, maka kita akan mendapati fondasi kuatnya dari al-Qur’an.[10]
Fungsi pemikir Islam adalah menjelaskan petunjuk dan parameter yang ada dalam al-Qur’an.
b.      Pemikir Islam yang Kontradiktif[11]
Ketika Orientalis menyadari bahwa pemikiran adalah fondasi awal terbentuknya peradaban, maka mereka pun mulai mengarahkan pemikiran Islam jauh dan asing dari umat Islam itu sendiri. Maka pemikiran Islam modern menjadi pemikiran yang meragukan kebenaran aqidah dan syariat. Fungsi pemikiran Islam pun seolah menjadi kontradiksi, para pemikir hanya disibukkan dengan filsafat dan diskusi yang tak jelas kaitannya dengan problem realistis yang dialami umat. Persepsi umat terhadap definisi pemikiran Islam pun makin sempit. Jika pada awalnya mampu mengendalikan kehidupan politik dan sosial kaum muslimin, maka setelah munculnya paham komunisme dan sekularisme. Fungsinya seolah memudar. Kedua paham ini lebih gencar memasukkan konsep-konsepnya dalam semua lini kehidupan.
Kedua paham ini saling kontradiktif  satu sama lain. Namun dalam pandangan Islam keduanya sama, yakni sama-sama sekuler. Mereka pun menjadikan Islam sebagai salah satu materi yang mendukung konsep liberal ataupun komunis. Para pemikir Islam pun terpengaruh oleh sekularisme Barat dan mulai memilah-milah ayat, menyimpangkan makna dan juga menafsirkannya secara sembarangan. Jika di Indonesia para pemikir ini tergabung dalam satu komunitas yang bernama Jaringan Islam Liberal.
Semua problematika ini (konsepmaupun teoretis) makin menjauhkan fungsi pemikir Islam dari tugasnya untuk membentuk peradaban. Butuh satu rekonstruksi yang menyeluruh dalam diri pemikir Islam itu sendiri. Problematika pemikir Islam pada umumnya berdampak pada landasan ilmu-ilmu humaniora dalam proses pengajarannya. Dengan demikian rekonstruksi pemikiran Islam dan pemisahannya dari paham sekularisme berkaitan erat dengan rekonstruksi Islami pada kajian ini (psikologi).
c.       Rekonstruksi Pemikiran untuk Merekonstruksi Ilmu-Ilmu Pengetahuan[12]
Konspirasi imperialisme pemikiran pada bidang pemikiran Islam tidak berahan lama. Muncul banyak diskusi akan pemikiran Islam dari sisi Islamnya dan bukan dari sisi sekuler liberal ataupun marxisme. Ruang lingkup pemikiran Islam tidak hanya tertuju pada masalah filsafat dan ketauhidan namun mulain meluas. Mulai timbul proyek untuk mencari konsep Islami pada semua ilmu pengetahuan. Diskusi dalam segala bidang mulai terbuka dengan berbagai topiknya, diantaranya: a) bidang kajian ilmiah; b) bidang kajian filsafat; c) bidang kajian bahasa; d) bidang kebudayaan; e) bidang kajian sastra; f) bidang kajian politik; g) bidang sosial masyarakat; h) bidang perekonomian
Pemikiran Islam mulai mempelajari dan mengamati semua problematika di berbagai bidang. Bisa dikatakan, setara dengan filsafat keilmuan. Perluasan topik kajian pada pemikiran Islam tidak terlepas dari keuniversalan Islam.  Tidak aneh bila pemikiran Islam mampu mengkaji semuanya ini, karena ia berbicara atas nama Islam yang memang sangat universal dan komprehensif. Fokus pemikiran Islam modern pun tertuju pada realitas manusia yang sangat rumit, membina pola pikir manusia hingga mampu mempelajari ilmu-ilmu Islam dan juga mampu mengatasi semua problematika yang dihadapinya.
Kajian pemikiran Islam menyatukan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu humaniora, lalu menjadikan keduanya satu kesatuan. Maka akan lebih baik bla psikologi terlepas dan mandiri dari kajian filsafat untuk kemudian lebiah menyatu kepada kajian pemikiran, bukan untuk sebagai cabang keilmuannya namum untuk mangambil kemandiriannya. Satu hal yang menyatukan kajian psikologi dan kajian pemikiran Islam adalah adanya satu proyek yang searah, yakni proyek rerkonstruksi Islami pada ilmu pengetahuan.
B.     Pemikir Islam dan Rekonstruksi Islami untuk Psikologi
Dari berbagai karya-karya psikologi Islam, Muhammad Izuddin Taufiq mengklasifikasikan kajian kejiwaan klasik Islam dalam dua kategori. Pertama, paradigma yang mengkaji definisi dan teori kejiwaan dalam Alqur’an dan Hadist dengan berbagai topik dan terminologinya. Salah satu produk dalam kategori ini adalah Al-Qur’ân wa ‘Ilm al-Nafs dan Al-Hadîts wa ‘Ilm al-Nafs karya Utsman Najati. Kedua, paradigma yang mengkaji defenisi dan teori kejiwaan dalam kitab-kitab kelasik Islam dengan berbagai topik dan terminologinya. Salah satu produk kategori ini adalah Dalil al-Bahitsin Ilâ Mafâhim Nafsiyah fî al-Turats (Petunjuk Bagi Para Peneliti Bagi Memahami Masalah Kejiwaan Dalam Kitab-Kitab Kelasik) hasil kerja sama antara Lajnah ‘Ilmiah dengan al-Ma‘had al-‘Alamiy lî al-Fikr al-Islamiy.[13]
Pemunculan paradigma psikologi Islam merupakan hal yang baru, bahkan boleh dibilang sebagai reaksi dari kemajuan diskursus psikologi Barat kontemporer. Reaksi itu semakin memuncak setelah hasil psikologi Barat kontemporer yang antroposentris dan netral etik dijadikan sebagai “pisau analisis” dalam memahami fenomena psikoligis masyarakat Islam yang teosentris dan sarat etik tentunya hal itu mengakibatkan benturan-benturan tersendiri, sebab masing-masing pihak memiliki frame pemikiran yang berbeda.[14]
Paradigma psikologi Islam, dengan meminjam pendapat ‘Abd al-Rahman Shalih ‘Abd Allah, harus dikaitkan pada pemikiran filosofis dalam Islam. Terhadap literatur yang telah berkembang, setidak-tidaknya ditemukan dua kelompok dalam mensikapi pengembangan psikologi Islam, yaitu[15]:
1.      Kelompok yang menghendaki keterbukaan terhadap pandangan hidup dan kehidupan non-muslim. Kelompok ini berusaha mengadopsi konsep-konsep psikologi non-Islam. Dan menggabungkannya ke dalam pemikiran psikologi Islam.
2.      Kelompok yang berusaha mengangkat pesan besar Ilahi ke dalam pemkiran psikologi, baik dari al-Qur’an, sunnah maupun penafsiran ulama terhadap kedua sumber tesebut.
Kedua kelompok pemikiran yang ditawarkan di atas merupakan kerangka dasar bagi bangunan paradigma psikologi Islam. Asumsi yang mendasari kelompok pertama adalah bahwa tidak ada salahnya jika pemikir muslim meminjam atau bahkan menemukan kebenaran dari pihak lain.[16]
Nabi Muhammad SAW. Dalam suatu haditsnya bersabda: “hikmah itu merupakan barang yang hilang, jika ditemukan dari mana saja datangnyaa, maka ia berhak memilikinya.” Hasdits inimemberikan sinyalemen agar pemikir muslim tidak segan-segan mengadopsi pemikiran psikologi non-Islam, dengan catatann bahwa pemikiran yang diadopsi  tersebut mengan dung suatu kebenaran.[17]
Asumsi pemikiran kelompok kedua adalah bahwa Islam merupakan sistem ajaran yang universal dan konprehensip. Tak satu pun persoalan, termasuk persoalan psilokogis, yang luput dari jangkauan ajaran Islam. Allah SWT berfiirmann dalam Q.S. al-An’am ayat 38 “tiadalah kami alpakan sesuatu pun di dalam kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan Q.S. al-Nahl ayat 89 “dan kami turunkan kepadamu al- Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang –orang yang berserah diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa pengembangan psikologi Islam cukup digali dari sumber otentik Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadits.[18]
Hampir senada dengan pendapat di atas, Djamaludiin Ancok, telah memetakan banguna psikologi Islam. Menurutnya, pengembangan psikologi Islam bermula dari ide gerakan Islamisasi sains yang dipelopori oleh dua tokoh kenamaan, yaitu Ismail Raji al-Faruqi dan Ziauddin Sardar. Al-Faruqi berpendapat bahwa islamisasi sains bermula dari upaya sintesis antara ilmu pengetahuan mordern dengan Islam, berbeda dengan al-Faruqi, Sardar berpandangan bahwa Islamisasi sains mesti dimulai dari hal-hal yang paling mendasar, yaitu dengan membangun pandangan dunia (world view) Islam dan paradigma Islam.[19]
Pemikiran al-Faruqi didasarakan atas asumsi bahwa jika ingin menghasilkan suatu pendekaatan baru dalam khazanah psikologi Islam maka langkah yang paling tepat bukanlah dimulai dari nol, melainkan dimulai dari penemuan dan teori-teori psikologi Barat yang sudah mapan. Mode ini memilliki dua bentuk; pertama, psikologi dipakai sebagai pisau “analisis” terhaadap masalah-masalah kejiawaan umat Islam dan kedua, Islam dijadikan sebagai “pisau anaisis” untuk menuilai kokonsepnsikolgi Barat kntemporer. Sedangkn asumsi yang mendasari ide Sardar adalah bahwa psikologi Islam harus dibangun dari kerangka pikir (mode of thougth) Islam, mengingat dalam al nas memuat sejumlah informasi mengenai persoalan-persoalan substansial psikologi, misalnya al-fithrah, al-ruh, al-nafs, al-qalb, al-aql, al-dhamir, dan sebagainya.[20]
1.      Metode pengkajian dan pengembangan psikologi Islam
Berdasarkan konstruks (kerangka penjelas) di atas, metode pengkajian dan pengembangan psikologi Islam dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu metode pragmatis dan  metode idealistik. Metode pragmatis adalah metode pangkajian atau pengambangan psikologi Islam yang lebih mengutamakan aspek praktis dan kegunaan. Maksudnya, bangunan psikologis Islam dapat diadopsi dan ditranspormasikan dari kerangka teori-teori dari psikologi Barat Kontemporer yang sudah mapan. Teori-teori tersebut dicarikan legalisasi atau justifikasi dari al-nash atau diupayakan pentazkiyah-an, sehingga konsklusinya bernuansa Islami. Metode ini akan menghasilkan rumusan yang laszim disebut dengan “psikologi Islami” (dengan menyertakan huruf i pada kata Islam).[21]
a.       Metode pragmatis
Langkah-langkah operasional yang dapat ditempuh dalam metode pragmatis, sebagaimana yang ditawarkan al-Faruqi, adalah:
1.      Penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian kategoris.
2.      Survei disiplin ilmu pengetahuan.
3.      Penguasaan khazanah Islam, sebuah ontologis.
4.      Penguasaan khazanah ilmiah Islami, tahap analisis.
5.      Penemuan relevansi Islam yang khas terhadao dsiplin ilmu pengetahuan.
6.      Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern, tingkat perkembangannya di masa ini.
7.      Penilaian kritis terhadap khazanah Islam, tingkat perkembangannya dewasa ini.
8.      Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam.
9.      Survei permasalahan yang dihadapi umat manusia.
10.  Analisis kreatif dan sintesis.
11.  Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam.
12.  Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.[22]
Dua langkah pertama untuk memastikan pemahaman dan penguasaan umat Islam terhadap disiplin ilmu tersebut sebagaimana yang berkembang di Barat. Dua langkah seterusnya adalah untuk memastikan sarjana Islam yang tidak mengenali warisan ilmu Islam karena masalah akses kepada ilmu tersebut mungkin disebabkan masalah bahasa akan berpeluang untuk menbenakinya dari antologi yang disediakan oleh sarjan Islam tradisional. Analisis warisan ilmu Islam adalah untuk memahami wawasan Islam dengan lebih baik dari sudut latar belakang sejarah, masalah, dan isu yang terlibat. Empat langkah pertama itu seharusnya dapat menjelaskan kepada cendikiawan tersebut tentang sumbangan warisan ilmu Islam dan relevansinya kepada bidang yang dikaji oleh disiplin ilmu itu dan tujuan kasarnya. Langkah keenam adalah langkah paling utama dalam proses Islamisasi ini dimana kepatuhan kepada prinsip pertama dan lima kesartuan akan diperiksa sebelum sistesis kreatif dicapai dalam langkah ke-10.[23]
Salah satu dampak gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan Ismail Raji al-Faruqi adalah berdirinya Universitas Islam Internasional di Malaysia pada tahun 1983. “tidak ada harapan akan kebangkitan yang sungguh-sungguh dari ummah kecuali sistem pendidikan diubah dan kesalahan-kesalahannya diperbaiki. Sesungguhnya yang diperlukan bagi sistem itu adalah dibangunnya bentuk yang baru. Dualisme yang sekarang ini dijumpai di dalam pendidikan muslim, pembagiduaan menjadi sistem Islam dan sistem sekuler harus ditiadakan dengan tuntas,” tulis al-Faruqi, dalanm bukunya Islamisasi Pengetahuan.
b.      Metode Idealistik
Metode yang kedua adalah metode idealistik, yaitu metode yang lebih mengutamakan penggalian psikologi Islam dari ajaran Islam sendiri. Kemudian metode ini menggunakan pola deduktif dengan cara menggali premis mayor (sebagai postulasi) yang digali dari al-nash. Konsruksi premis mayor ini di jadikan sebagai”kebenaran universal”yang dijadikan acuan penggalian premis minornya. Melalui metode ini maka terciptalah apa yang disebut dengan “psikologi islam” (tanpa memakai huruf i “diakhir kata islam).
Sardar secara rinci telah memberikan kerangka epistimologis dalam menerapakan metode idealistik,yang di tuangkan dalam sembilan kontruks,yaitu:              
1.    Didasarakan atas suatu kerangka pedoman mutlak, sebab datangnya dari Tuhan dan rasul-Nya.
2.    Bersifat aktif dan bukan pasif.
3.    Memanadang objektivitas sebagai masalah umum dan bukan masalah khusus(pribadi).
4.    Sebagian besar bersifat deduktif.
5.    Memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai islam.
6.    Memandang pengetahuan bersifat inklusif dan bukan eksklusif, yani menganggap pengalaman manusia sebagai masalah subjektif yang sama faliditasnya dengan evolusi yang bersifat objektif.
7.    Menyusun pengalaman subjektif yang mendorong pencaharian pengalaman-pengalaman ini, yang dari umat Islam sendiri diperoleh komitmen-komitmen nilai dasar mereka.
8.    Memadukan dari konsep-konsep kesadaran (imajinasi-kreatif) dengan tingkat pengalaman subjektif(mistik-spiritual), sehingga konsep-konsep dan kiasan-kiasan yang sesuai dengan satu tingkat tak harus sesuai dengan tingkat lain.
9.    Tidak bertentangan dengan pandangan holistik, melainkan menyatu dan manusiawi dari pemahaman dan pengalaman manusia. Dengan demikian, epistemologi Islam sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.[24]

Berdasarkan dua metode di atas, terdapat dua istilah yang barangkali perlu dijelaskan. Pertama, istilah ”psikologi Islami”, yaitu bangunan psikologi yang bersifat Islami yang didasarkan atas konsep-konsep psikologi Barat kontemporer yang kemudian diislamisasikan. Hasil Islamisasi psikologi sekuler itu kemudian dimasukkan ke dalam khazanah Islam, sehingga menjadi wacana Islam. Pengguanaan istilah “Islami” disebabkan ketidakpercayaan bahwa apa yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan Islam atau tidak, karena kerangkanya beranjak dari khazanah lain. Kedua, istilah “Psikologi Islam”, yaitu bangunan psikologi Islam yang didasarkan atas nilai dasar-dasar Islam, yang tertuang dalam al-Qur’an, hadits dan psikolog muslim. Melalui ijtihad, penggunaan istilah Islam dikedepankan karena ia yakin apa yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan nilai-nilai Islam. Istilah ini juga sebagai bandingan dengan istilah Filsafat Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam, dan sebagainya.[25]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.            Rekonstruksi Islami pada kajian psikologi hanyalah bagian kecil dari rekonsrtuksi peradaban besar di mana pemikiran Islam modern akan bangkit dan merealisasikan apa yang disebut Islamisasi ilmu pengetahuan.
2.            Sementara itu, definisi Islamisasi ilmu pengetahuan itu berbeda-beda tergantung pembawa konsepnya. Al-Faruqi menyebut istilah Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan usaha untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisai berhubung data itu, menilai kembali kesimpulan dan tsfsiran, membentuk kembali tujuan, dan melakukannya secara membolehkan disiplin itu memperkaya visi dan perjuangan Islam.
3.            Pemikir Islam tidak akan mungkin bisa menjalankan fungsinya (menjelaskan petunjuk dan parameter yang ada dalam al-Qur’an dan membangun peradaban) bila tidak didukung dengan keyakinan yang sempurna pada Islam dan pengaplikasian syariat Islam, dan bahkan dengan keyakinan bahwa Islam lebih unggul dari yang lainnya.
4.            Butuh satu rekonstruksi yang menyeluruh dalam diri pemikir Islam itu sendiri terutama yang terkena pemahaman sekuler.
5.            Rekonstruksi pemikiran Islam dan pemisahannya dari paham sekularisme berkaitan erat dengan rekonstruksi Islami pada kajian ini (psikologi).
6.            Ruang lingkup pemikiran Islam tidak hanya tertuju pada masalah filsafat dan ketauhidan namun mulain meluas. Mulai timbul proyek untuk mencari konsep Islami pada semua ilmu pengetahuan. Diskusi dalam segala bidang mulai terbuka dengan berbagai topiknya, diantaranya: a) bidang kajian ilmiah; b) bidang kajian filsafat; c) bidang kajian bahasa; d) bidang kebudayaan; e) bidang kajian sastra; f) bidang kajian politik; g) bidang sosial masyarakat; h) bidang perekonomian
7.            Kajian pemikiran Islam menyatukan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu humaniora, lalu menjadikan keduanya satu kesatuan.
8.            Satu hal yang menyatukan kajian psikologi dan kajian pemikiran Islam adalah adanya satu proyek yang searah, yakni proyek rerkonstruksi Islami pada ilmu pengetahuan
9.            Dua kelompok dalam mensikapi pengembangan psikologi Islam, yaitu:
a)      Kelompok yang menghendaki keterbukaan terhadap pandangan hidup dan kehidupan non-muslim. Kelompok ini berusaha mengadopsi konsep-konsep psikologi non-Islam. Dan menggabungkannya ke dalam pemikiran psikologi Islam. Sehingga menghasilkan istilah ”psikologi Islami”. Tokohnya adalah Ismail Raji al-Faruqi dengan metode pragmatis.
b)      Kelompok yang berusaha mengangkat pesan besar Ilahi ke dalam pemkiran psikologi, baik dari al-Qur’an, sunnah maupun penafsiran ulama terhadap kedua sumber tesebut. Sehingga menghasilkan istilah “Psikologi Islam”.Tokohnya adalah Ziauddin Sardar dengan metode idealistis.







DAFTAR PUSTAKA

Izzuddin Taufiq, Muhammad, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islami, Jakarta: Gema Insani, 2006.
Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu: Persfektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, Jakarta: RajaGrafindo, 2001.



[1] Muhammad Izzuddin Taufiq, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islami, Jakarta: Gema Insani, 2006, cet. 1,  hlm. 136.
[2] Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu: Persfektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013, cet. 1, hlm. 252.
[3]Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu: Persfektif Barat dan Islam,. hlm. 253.
[4]Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu: Persfektif Barat dan Islam,  hlm. 253.
[5]Muhammad Izzuddin Taufiq, PanduanLengkap dan Praktis Psikologi Islami, hlm. 136.
[6] Muhammad Izzuddin Taufiq, PanduanLengkap dan Praktis Psikologi Islami, hlm. 136.
[7] Muhammad Izzuddin Taufiq, PanduanLengkap dan Praktis Psikologi Islami, hlm. 136.
[8]Muhammad Izzuddin Taufiq, PanduanLengkap dan Praktis Psikologi Islami, hlm. 137.
[9]Muhammad Izzuddin Taufiq, PanduanLengkap dan Praktis Psikologi Islami, hlm. 137.
[10] Muhammad Izzuddin Taufiq, PanduanLengkap dan Praktis Psikologi Islami, hlm. 139.
[11] Muhammad Izzuddin Taufiq, PanduanLengkap dan Praktis Psikologi Islami, hlm.140-141.
[12]Muhammad Izzuddin Taufiq, PanduanLengkap dan Praktis Psikologi Islami, hlm. 142.
[13] Muhammad Izzuddin Taufiq, PanduanLengkap dan Praktis Psikologi Islami, hlm. 611.
[14]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, Jakarta: RajaGrafindo, 2001, cet. 1, hlm. 12.
[15] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, hlm. 12.
[16] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, hlm. 12.
[17] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, hlm. 12.
[18] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, hlm. 13.
[19] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, hlm. 14.
[20] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, hlm. 14.
[21] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, hlm. 15.
[22] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, hlm. 15.
[23] Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu: Persfektif Barat dan Islam, hlm. 264.
[24] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, hlm. 20.
[25]Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, hlm. 34.

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.