MACAM-MACAM AMANAH

Amanah Terhadap Alloh  

Shalat adalah sebuah amanah yang dituntut dari diri kita. Kita harus menjaganya dengan cara menyempurnakan syarat dan rukunnya. Semangat datang di awal waktu, ikut menghadiri jamaah, khusyu’ dan tunduk hanya untuk Robbul ‘alamin. Kita dituntut untuk membaguskan bacaan shalat, tertib dan tenang di saat ruku’ dan sujud. Lebih dari itu, kita pun harus shalat sebagaimana Rosululloh   shalat.

Zakat juga bagian terpenting dari sebuah amanah. Kita ajib membayarnya setiap kali sampai pada batas dan waktu yang telah diwajibkan. Baik harta simpanan, perniagaan, pertanian atau peternakan. Kita harus mengeluarkan dari jiwa yang baik, sempurna tanpa kurang satu apapun. Kita wajib memberikannya kepada yang berhak dari golongan fakir, miskin atau lainnya seperti yang telah Alloh   sebutkan dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 60)

Amanah Terhadap Sesama Manusia

Keluarga adalah amanah. Ibu, bapak, anak dan istri adalah ujian yang Alloh pikulkan di pundak kita. Wajib bagi kita untuk takut kepada Alloh dengan cara menjaga amanah ini. Kita wajib memelihara kemaslahatan agama dan dunia mereka. Memerintahkan mereka kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran. Mengarahkan mereka kepada kebaikan agar mengamalkannya. Mengajarkan mereka hal-hal yang dilarang Alloh agar mereka menghindarinya. Hal itu merupakan bukti bahwa kita menjaga mereka dari api neraka Alloh  . Rosululloh   bersabda:

“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika usia tujuh tahun dan pukullah mereka jika meninggalkannya ketika usia sepuluh tahun.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Kewajiban seorang ayah terhadap anaknya adalah mengajar, mendidik dan mengayomi mereka. Memperkenalkan mereka tentang hak-hak Alloh, kewajiban-kewajiban mereka terhadap Rosululloh, al-Qur’an, agama Alloh, orang tua, saudara, tetangga, guru, teman dan kewajiban menjaga barang milik orang lain. Ketika kita melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, sungguh kita telah menunaikan amanah ini. Namun ketika kita sepelekan kewajiban-kewajiban tersebut, sungguh kita telah menjadi pengkhianat.

Termasuk dalam bentuk melaksanakan amanah adalah, orang yang berilmu mengajarkan orang yang tidak berilmu (bodoh). Karena ilmu di tangan pemiliknya adalah sebuah amanah. Alloh   telah mengambil perjanjian dengan mereka menyampaikan kepada yang membutuhkannya. Alloh   mengancam dengan adzab yang keras bagi orang-orang yang menyembunyikan ilmu terhadap yang membutuhkannya. 

Rosululloh   bersabda:
“Barangsiapa yang ditanya tentang satu ilmu lalu ia menyembunyikannya, maka Alloh akan mengekangnya pada hari kiamat dengan tali kekang dari api.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Pelayanan kepada masyarakat umum adalah amanah di tangan para pegawai pemerintah. Ketika kita telah dipilih menjadi pegawai pemerintahan, kewajiban kita adalah membaktikan diri kepada Alloh dengan cara melayani kebutuhan masyarakat sesuai dengan bidang dan tugas kita. Haruslah dipahami bahwa kita bukanlah Raja bagi masyarakat, tapi atas pilihan kita sendiri kita telah menjadi pelayan masyarakat.

Baca Juga : PENGERTIAN AMANAH

Alloh  , pasti akan meminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Maka wajib bagi setiap pegawai untuk takut kepada Alloh   terhadap amanah ini. Hendaknya kita bertugas dengan penuh rasa ikhlas, tidak berlebihan di dalamnya tau malah meremehkannya.

Dewasa ini, kita sering mendengar tentang pengkhianatan amanah dalam bentuk korupsi, penyalahgunaan jabatan, memakan harta orang lain dengan cara batil dan dengan menggunakan trik-trik kotor lainnya. Padahal Alloh   telah mengancam dan mencela orang-orang Yahudi karena perbuatan-perbuatan tercela yang tersebut di atas. 
Alloh   berfirman: 

“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguh-nya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. al-Ma’idah [5]: 62)

Terdapat banyak hadits yang memberikan peringatan dari perbuatan yang haram ini dan menerangkan akibat buruk bagi pelakunya, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari ‘Abdullah bim ‘Umar   bahwa Rosululloh   bersabda:
(( لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ ))
“Tidaklah tumbuh daging dari sesuatu yang haram, melainkan nerakalah yang lebih pantas baginya.” (HR. at-Tirmidzi)

Rosululloh   juga bersabda: 
“Sesungguhnya Alloh itu Maha baik, dan Dia tidak mau menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Alloh memerintahkan orang Mukmin sebagaimana memerintahkan kepada para Rosul‘. Alloh   berfirman: 

“Wahai para rosul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shaleh.” (QS. al-Mu’minun [23]: 51)

Dan firman-Nya yang lain:
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian....” (QS. al-Baqarah [2]: 172)

Kemudian Nabi   menuturkan cerita tentang seseorang yang datang dari tempat yang jauh, rambutnya kusut dan badannya penuh debu sambil menadahkan kedua tangannya ke langit ia mengucapkan: ‘Ya Robbi, Ya Robbi’, sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim)

Hadits di atas dengan sangat jelas menerangkan bahwa tidak memilih makanan yang baik dan halal menyebabkan doa seseorang terhalang dan tidak terkabul, tidak sampai kepada Alloh   dan cukuplah itu sebagai kerugian besar. Sebab, jika doa-doa kita tertolak oleh Alloh  , maka kepada siapa lagi kita akan memohon? 

Amanah Dalam Harta

Sepanjang sejarah umat manusia, kecintaan terhadap emas dan perak merupakan watak yang tidak bisa dielakkan dari kehidupan manusia. Emas dan perak senantiasa menghiasai kehidupan manusia dan membuat hidup terasa menjadi lebih indah. 

Alloh   berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda-kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Alloh-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 14)

Akan tetapi di satu sisi yang lain harta benda merupakan juga batu ujian (fitnah) bagi jiwa manusia. Ibnu Abi Hatim   meriwayatkan dari Malik bin Dinar   bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya dīnār (uang emas) itu disebut dīnār, karena ia merupakan dīn (agama) dan nār (neraka) bagi seseorang. Barangsiapa yang mengambilnya dengan jalan yang hak (halal), maka ia adalah dīn (agama) baginya. Sedangkan barangsiapa yang mengambilnya dengan cara yang tidak halal, maka ia adalah nār (neraka) baginya.”

Dalam sebuah haditsnya, Rosululloh   bersabda:
(( إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ )) 
“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau memikat, dan sesungguhnya Alloh menitipkannya kepada kalian, kemudian Alloh akan melihat apa yang kalian perbuat. Oleh karena itu, waspadalah kalian terhadap dunia dan juga wanita.” (HR. Muslim)

Baca Juga : PENGERTIAN AMANAH

Beliau   juga bersabda:
(( إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِى الْمَالُ ))
“Sesungguhnya bagi setiap umat itu ada fitnah (ujian)nya masing-masing, dan fitnah umatku adalah harta duniawi.” (HR. at-Tirmidzi, Hasan Shahih)

Kecintaan seseorang kepada harta benda cenderung membuatnya berupaya mendapatkannya dengan segala cara. Kejujuran dan amanah menjadi tidak begitu penting ketika seseorang dihadapkan pada ujian harta. Padahal dengan menjaga amanah, keberkahan dalam harta dan pertolongan Alloh   akan mudah didapatkan.

Rosululloh   pernah menceritakan kepada kita tentang kisah amanah yang patut menjadi teladan sepanjang zaman. Beliau   bersabda. “Ada seorang dari Bani Israil yang ingin berhutang kepada salah seorang kawannya sebanyak seribu dinar. Kawannya berkata; ‘Siapa yang akan menjadi penjamin hutang ini?’. ‘Cukuplah Alloh sebagai penjamin’, jawabnya. ‘Datangkan padaku seorang saksi agar melihat urusan kita ini’, pinta temannya. Dengan mantap ia menjawab; ‘Cukuplah Alloh menjadi saksi’. Sang kawan itu berkata: ‘Engkau benar’, lalu diserahkan kepadanya uang sejumlah seribu dinar hingga batas waktu yang telah disepakati. Lalu ia pun pulang menyeberangi lautan. Setelah selesai memenuhi hajatnya, datanglah waktu yang telah ditentukan itu. Ia menunggu kapal yang menyeberangkannya guna membayar hutang. Akan tetapi ia tidak mendapatkan kapal sebagai tumpangan. Kemudian ia mengambil sepotong kayu balok dan dilubanginya kayu tersebut, dimasukkan uang seribu dinar itu ke dalamnya disertai sepucuk surat untuk sang kawan. Setelah itu lubang tersebut ditutup kembali dengan rapat hingga rata. Dan ia membawanya ke laut seraya berkata, ‘Ya Alloh, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku telah berhutang kepada si fulan seribu dinar. Ia telah minta kepadaku penjamin lalu aku katakan; “Cukuplah Alloh sebagai penjamin’. Dan ia pun ridho dengan Engkau sebagai penjamin’. Lalu Ia meminta kepadaku seorang saksi, aku pun berkata: ‘Cukuplah Alloh sebagai saksi’. Dan ia pun ridho Engkau sebagai saksi. Dan aku sudah bersungguh-sungguh berupaya mendapatkan kapal agar aku bisa mengembalikan haknya, akan tetapi aku tidak mendapatkannya. Dan sekarang aku menitipkan kepada-Mu ya Alloh sepotong kayu ini’.

Lalu ia melemparkan kayu tersebut ke laut sampai masuk ke dalamnya dan ia pun berlalu. Namun ia tetap berusaha mencari kapal untuk mengantarkannya ke negeri sang kawan tersebut. Pada hari yang sama kawannya telah menunggu di seberang lautan sana, kalau-kalau ada kapal yang akan membawakan hartanya (yang seribu dinar itu). Tiba-tiba ia melihat sepotong kayu balok yang didalamnya terdapat uang dan surat tersebut lalu diambilnya untuk dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Ketika ia belah kayu tersebut (ia terkejut), di dalamnya terdapat harta (seribu dinar) dan sepucuk surat dari orang yang berhutang.

Selang beberapa waktu kemudian datanglah orang yang berhutang dengan membawa seribu dinar seraya berkata (dengan memohon maaf): ‘Demi Alloh, aku sudah berupaya untuk mencari kapal supaya dapat mengembalikan hartamu ini, tetapi aku tidak mendapatkannya, baru sekarang ini aku mendapatkan kapal’. Kawannya bertanya; ‘Apakah sebelum ini kamu pernah mengirim sesuatu kepadaku dalam sepotong kayu’. Kemudian ia pun menceritakan kisahnya tersebut, lalu ia kembali ke negerinya dengan membawa seribu dinar dalam keadaan mendapat petunjuk.” (HR. al-Bukhari)

Ibnu Katsir   menuturkan kisah di atas ketika beliau menafsirkan firman Alloh   dalam surat Ali ‘Imran yang berbunyi:

“Di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya....” (QS. Ali ‘Imran [3]: 75)

Perhatikanlah, bagaimana kejujuran orang yang berhutang tersebut mengundang pertolongan Alloh   baginya. Alloh-lah yang telah menyampaikan pembayaran hutangnya dengan cara yang sangat unik lagi tepat pada orang yang dituju, tidak jatuh ke tangan orang lain atau hilang ditelan gelombang.

Kemudian yang lebih menarik lagi, ternyata Alloh   memberkahi usahanya, sehingga pada waktu yang telah disepakati ia mampu membayar lunas hutangnya, bahkan setelah itu pun ia masih mengantongi keuntungan seribu dinar. Hal itu dijelaskan di akhir kisah, “maka ia pun berlalu dengan membawa seribu dinar dalam keadaan mendapat petunjuk”. Keberkahan yang melimpah dan keuntungan yang berlipat ganda tersebut tidak lain adalah berkat sifat amanahnya.

Ujian harta dan jabatan dunia bisa menimpa siapa saja, pada posisi dan jabatan apa saja dan di mana saja. Namun bagi pengemban amanah, jabatan dalam pemerintahan atau yayasan, ujian tersebut jauh lebih berat. Tidak jarang seorang pejabat atau karyawan menerima pemberian atau hadiah dari seorang klien yang memanfaatkan jasa dan pelayanannya, sebagai tanda terima kasihnya ia memberikan suatu imbalan. Meskipun pemberian tersebut bersifat sukarela, namun hal itu tidak dapat dibenarkan. Karena hal itu sedikit banyak akan mempengaruhi kebersihan pegawai tersebut dalam menjalankan tugasnya. Juga, pemberian itu ia dapatkan lantaran jabatan atau amanah yang ia emban. Seandainya ia tidak memegang amanah tersebut, maka tidak mungkin ada orang yang mau memberinya. Oleh karena itu, hadiah atau pemberian yang didapatkan oleh seseorang karena jabatan atau amanahnya, dalam pandangan syariat Islam adalah risywah (suap) yang terlarang.

‘Abdur Rahman bin Sa’ad as-Sa’idi   berkata:
“Rosululloh   pernah mengangkat seorang laki-laki dari suku Azdi yang bernama Ibnul Lutbiyah sebagai petugas pemungut zakat. Setelah selesai dari tugasnya ia berkata; ‘Ini untuk kalian dan ini untuk saya’. Kemudian Rosululloh   berdiri di atas mimbar lalu memuji dan menyanjung Alloh   lantas bersabda: 

(( أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلاَّنِيَ اللَّهُ، فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي. أَفَلاَ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا، وَاللَّهِ لاَ يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلاَّ لَقِيَ اللَّهَ تَعَالَى يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعِرُ . ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ))

“Amma ba’du. Sesungguhnya saya mengangkat salah seorang dari kalian untuk melaksanakan pekerjaan dari apa yang saya diberi wewenang oleh Alloh. Lalu ia datang dari tugasnya dan berkata, ‘Ini untuk kalian dan ini hadiah yang diberikan orang kepadaku’. Mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya sehingga datang kepadanya hadiah tersebut jika ia benar. Demi Alloh, tidaklah seseorang dari kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya kecuali ia akan menghadap Alloh sambil membawa apa yang diambil (dihadiahkan)nya itu pada hari kiamat. Maka jangan sampai nanti saya melihat salah seorang dari kalian menghadap Alloh dengan membawa unta yang mengeluarkan suaranya atau sapi yang melenguh atau kambing yang mengembik’. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sampai terlihat kedua ketiaknya yang putih lalu bersabda: “Ya Alloh, bukankah aku telah menyampaikannya?” (beliau mengulang kata-katanya itu sebanyak tiga kali). (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Tidak jarang pula kita dapati seorang pegawai ketika menjalankan tugas tertentu yang terkait dengan order, ia menerima atau meminta komisi dari perusahaan yang menjalankan order tersebut. Sebenarnya komisi yang ia terima itu tidak lain adalah uang haram. Terkadang juga ketika ia berhasil menawar harga lebih murah, maka kelebihan uang pembayaran itu ia anggap sebagai keuntungan pribadi yang menjadi miliknya. Ini pun juga uang haram. Maka berhati-hatilah dan menjauhlah dari uang haram seperti ini yang sekarang sudah dianggap biasa dan lumrah!

Baca Juga : PENGERTIAN AMANAH

Mencukupkan Dengan yang Halal dan Menghindari yang Haram

Jika ditelusuri, sebagian besar mereka yang tergiur dengan uang yang tidak halal itu melakukan perbuatannya karena dilandasi buruk sangka (su’uzh zhan) kepada Alloh  , yaitu jika ia hanya mencukupkan dengan yang halal saja niscaya akan sempit rezekinya dan kecil peluangnya untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Padahal yang benar, jika ia bertakwa kepada Alloh   dan mencukupkan dengan yang halal, niscaya Alloh   akan memberinya rezeki dari arah yang tak pernah diduga-duga, sebagaimana janji-Nya:

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Alloh niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan menganugerahi rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. ath-Thalaq [65]: 2-3)

Di samping itu, Rosululloh   telah mengingatkan kita semua dengan pesannya yang sangat menyentuh dan menyadarkan orang-orang yang lalai. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud  , bahwa Rosululloh   bersabda:
(( لَيْسَ مِنْ عَمَلٍ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ إِلاَّ قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلاَ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَلاَ يَسْتَبْطِئَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ رِزْقَهُ، فَإِنَّ جَبْرِيْلَ أَلْقِى فِي رُوْعِيْ أَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَنْ يَخْرُجَ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى يَسْتَكْمِلُ رِزْقَهُ، فَاتَّقُوا اللهَ أَيُّهَا النَّاسُ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ فَإِنِ اسْتَبْطَأَ أَحَدٌ مِنْكُمْ رَزْقَهُ فَلاَ يَطْلُبُهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُنَالُ فَضْلُهُ بِمَعْصِيَتِهِ ))

“Tidak ada suatu amal pun yang akan mendekatkan ke surga melainkan telah aku perintahkan, dan tidak ada suatu amal pun yang akan mendekatkan ke neraka melainkan telah aku larang. Maka janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian menganggap lambat rezekinya, karena sesungguhnya Jibril telah membisikkan ke dalam jiwaku bahwasanya tidak ada seorang pun di antara kalian yang berpisah dengan dunia ini kecuali setelah mengambil dengan sempurna seluruh jatah rezekinya. Oleh karena itu, bertakwalah kalian kepada Alloh wahai umat manusia dan carilah rezeki itu dengan tenang dan berwibawa. Jika salah seorang di antara kalian menganggap lambat rezekinya, maka janganlah mencarinya dengan maksiat kepada Alloh, karena sesungguhnya karunia Alloh itu tidak bisa diraih dengan bermaksiat kepada-Nya.” (HR. al-Hakim; dishahihkan oleh al-Albani)

Jadi, rezeki yang telah ditulis dan ditetapkan oleh Alloh   bagi hamba-Nya semenjak hamba itu masih berupa janin (yang berusia 4 bulan) dalam kandungan ibunya pasti akan diperolehnya, tidak akan bertambah satu sen pun dan tidak akan berkurang satu sen pun. Ini adalah keyakinan seorang Muslim yang telah mengimani qadha dan qadar (takdir). Jika keyakinan ini telah tertanam dalam hati seorang Muslim, maka mustahil ia tergiur untuk meraih apa yang telah diharamkan Alloh  . 

Dari Abu Hurairah   bahwa Rosululloh   bersabda:
(( يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ الْغِنَى لَيْسَ عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلٰكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ، وَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْتِي عَبْدَهُ مَا كَتَبَ لَهُ مِنَ الرِّزْقِ، فَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ، خُذُوْا مَا حَلَّ، وَدَعُوْا مَا حُرِّمَ ))

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan itu adalah kecukupan jiwa. Dan sesungguhnya Alloh   akan memberi kepada hamba-Nya apa yang telah Dia tulis baginya berupa rezeki. Oleh karena itu, carilah rezeki itu dengan tenang dan berwibawa, ambillah apa yang halal dan tinggalkan apa yang diharamkan.” (HR. Abu Ya’la; dishahihkan al-Albani)

Bahkan sebenarnya, bukan seorang hamba yang mengejar rezekinya tetapi rezeki itulah yang mengejar seorang hamba, sebagaimana sabda Rosululloh   berikut. Dari Abu Darda  , ia berkata bahwa Rosululloh   bersabda:
(( إِنَّ الرِّزْقَ لَيَطْلُبُ الْعَبْدَ كَمَا يَطْلُبُهُ أَجَلُهُ )) 

“Sesungguhnya rezeki itu mengejar seorang hamba sebagaimana ajal mengejarnya.” (HR. Ibnu Hibban dan al-Bazzar; dishahihkan al-Albani)
Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh ath-Thabrani dengan redaksi yang sedikit berbeda, yaitu Rosululloh   bersabda:
(( إِنَّ الرِّزْقَ لَيَطْلُبُ الْعَبْدَ أَكْثَرَ مِمَّا يَطْلُبُهُ أَجَلُهُ ))

“Sesungguhnya rezeki itu lebih mengejar seorang hamba daripada ajalnya.” (HR. ath-Thabrani; dishahihkan al-Albani)
Dalam hal ini ada sebuah contoh nyata yang ditegaskan oleh Rosululloh   sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

( أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى تَمْرَةً عَائِرَةً فَأَخَذَهَا فَنَاوَلَهَا سَائِلاً، فَقَالَ: (( أَمَّا إِنَّكَ لَوْ لَمْ تَأْتِهَا لأَتَتْكَ )) 

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar   bahwa Nabi   melihat sebutir korma yang terjatuh yang tidak diketahui pemiliknya, lalu beliau memungutnya kemudian memberikannya kepada seorang pengemis seraya bersabda, “Adapun seandainya engkau tidak datang untuk memintanya niscaya kurma ini akan mendatangimu.” (HR. ath-Thabrani, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi; dishahihkan al-Albani)

Renungkanlah sabda Rosululloh   di atas, niscaya akan tertanam di dalam hati sifat qanā’ah (merasa cukup dan yakin dengan jaminan Alloh   yang telah berfirman:
“Dan tidak ada suatupun yang melata di muka bumi melainkan Alloh-lah yang menjamin rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam makhluk itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud [11]: 6) 

Banyak orang terjangkiti ambisi untuk kaya dengan jalan pintas. Mereka ingin jadi kaya dengan mengambil jalan pintas. Yang berbahaya adalah jalan pintasnya ini. Islam tidak pernah mengajarkan kepada umatnya jalan pintas. Semua harus diraih dengan prosedur yang syar’i. Dan harus diingat serta dicamkan, tidak selamanya harta yang melimpah itu membawa kebaikan. Bahkan boleh jadi sebaliknya. Dalam hal ini Rosululloh   telah mengingatkan kita. Dari Abu Darda   ia berkata bahwa Rosululloh   bersabda:

(( مَا طَلَعَتْ شَمْسٌ قَطُّ إِلاَّ بُعِثَ بِجَنْبَتَيْهَا مَلَكَانِ يُنَادِيَانِ يُسْمِعَانِ أَهْلَ اْلأَرْضِ إِلاَّ الثَّقَلَيْنِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ هَلُمُّوْا إِلَى رَبِّكُمْ فَإِنَّ مَا قَلَّ وَكَفَى خَيْرٌ مِمَّا كَثُرَ وَأَلْهى )) 
“Tidaklah terbit matahari kecuali diutus bersamanya (di kedua sisi matahari itu) dua orang malaikat yang menyeru, keduanya menyeru dengan suara yang didengar oleh seluruh penduduk bumi kecuali manusia dan jin, ‘Wahai sekalian manusia! Marilah kalian menuju kepada Robb kalian, karena sesungguhnya apa yang sedikit namun mencukupi, maka lebih baik daripada yang banyak namun melalaikan’.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim; dishahihkan al-Albani)

Perhatikan pula pesan Rosululloh   kepada sahabatnya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash   ini. Dari ‘Abdulloh bin ‘Amr   bahwa Rosululloh   bersabda:
(( أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيْكَ فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيْثٍ، وَحُسْنُ خليقَةٍ وَعِفَّةٌ فِيْ طُعْمَةٍ ))
“Ada empat perkara yang jika keempat perkara itu ada pada dirimu, maka tidak masalah apa saja yang luput darimu tentang perkara dunia, yaitu: (1) menjaga amanah; (2) jujur dalam bicara; (3) perangai yang baik; dan (4) ‘iffah (wara’) dalam makanan.” (HR. ath-Thabrani; dishahihkan al-Albani)

Amanah Dalam Amal

Termasuk dalam cakupan amanah yang wajib ditunaikan oleh seorang Muslim adalah amanah dalam amal (pekerjaan). Setiap Muslim hendaknya menjalankan tugas-tugas yang diembannya dengan baik, itqān (rapi dan profesional), dan tidak mengurangi hak-hak si pemberi amanah sedikit pun. Kewajiban ini diisyaratkan dalam firman Alloh  : 

“Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kalian mengurangi bagi manusia hak-hak mereka....” (QS. al-A’raf [7]:  85)
Seorang yang telah menerima amanah dan mengemban tugas -apalagi tugas yang terkait dengan dakwah- jika ia mengabaikan tugas-tugasnya atau tidak sungguh-sungguh dalam melaksanakannya, maka ia telah berkhianat. 

Padahal Alloh   telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Alloh dan Rosul-Nya dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian sedang kalian mengetahui.” (QS. al-Anfal [8]: 27)
Khianat termasuk salah satu sifat orang munafik, dosa besar, dan penyebab lenyapnya keberkahan dari diri seorang Muslim. Sebab, Alloh   tidak akan memberikan keberkahan pada orang-orang yang khianat, juga tidak mencintai orang-orang yang berkhianat. 

Alloh   berfirman:
“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.” (QS. an-Nisa’ [4]: 107)
Rosululloh   bersabda:

(( الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا ))
“Penjual dan pembeli itu boleh memilih sebelum keduanya berpisah. Maka jika keduanya jujur dan menjelaskan, diberkahilah bagi mereka dalam jual belinya. Akan tetapi jika keduanya berdusta dan menyembunyikan maka dimusnahkanlah keberkahan jual beli mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Syaikh ‘Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di   berkata, “Hadits ini merupakan ‘ashl (dasar) tentang mu’āmalah yang membawa manfaat dan mu’āmalah yang membawa mudharat, dan bahwa pembeda di antara keduanya adalah ash-shidq (kejujuran) dan al-bayān (menjelaskan atau promosi).... Patokan (kaidahnya) adalah: “segala sesuatu yang engkau tidak suka jika saudaramu bermu’āmalah kepadamu dengan cara seperti itu, maka itu termasuk kedustaan dan ghisy (menipu).”

Hadits di atas meskipun berbicara tentang jual beli, tetapi faidah yang dikandungnya juga berlaku bagi setiap muamalah di antara manusia. Setiap mu’āmalah yang disertai kejujuran atau amanah akan mengundang keberkahan dari Alloh  . Sebaliknya, setiap mu’āmalah yang tidak disertai sikap amanah, maka akan menyebabkan lenyapnya keberkahan.

Amanah Majelis

Termasuk dalam cakupan amanah adalah menjaga apa-apa yang harus dijaga dari sebuah majelis. Amanah ini bisa kita istilahkan dengan amanah majelis. Contohnya, seorang da’i yang dijadikan tempat bertanya dan konsultasi oleh mad’ū atau audiensnya tentang suatu hal yang bersifat pribadi dan rahasia, maka ia harus menjaga kerahasiaan perkara tersebut. Tidak boleh baginya menceritakan kepada orang lain tentang rahasia si penanya tersebut. Jika ia sampai menceritakan kepada orang lain tentang perkara tersebut, maka ia telah berbuat khianat dan mencederai kehormatan seorang Muslim yang wajib dipelihara.

Contoh lain, seorang yang dipercaya untuk memandikan jenazah seorang Muslim, apabila ia melihat suatu aib atau hal yang tidak pantas untuk diceritakan dari jenazah tersebut, maka ia wajib menutupi aib itu dan tidak boleh menceritakannya kepada orang lain. Dalam hal ini terdapat fadhīlah (keutamaan) yang besar bagi orang yang memandikan jenazah lalu menyembunyikan apa-apa yang mesti disembunyikan.

Dari Abu Rafi’  , bekas budak Rosululloh  , bahwa beliau bersabda:
(( مَنْ غَسَّلَ مَيْتاً فَكَتَمَ عَلَيْهِ، غَفَرَ اللهُ لَهُ أَرْبَعِيْنَ مَرَّةً ))
“Barangsiapa yang memandikan mayat lalu menyembunyikan (aibnya), maka Alloh akan mengampuni baginya sebanyak empat puluh kali.” (HR. al-Hakim)
Dalam hal menjaga amanah majelis ini terdapat teladan yang sangat bagus sekali dari para sahabat Rosululloh  . ‘Abdulloh bin ‘Umar   menceritakan bahwasanya ‘Umar   ketika putrinya, Hafshah    menjanda ia berkata, “Aku menemui ‘Utsman bin ‘Affan   lalu menawarkan Hafshah   kepadanya. Aku berkata, ‘Jika engkau suka, aku nikahkan engkau dengan Hafshah putriku.’ ‘Utsman menjawab, ‘Akan aku pikirkan urusan ini.’ Setelah beberapa malam ‘Utsman menemuiku seraya berkata, ‘Kelihatannya aku tidak berminat untuk menikah pada hari-hari ini.’ Lalu aku pun mendatangi Abu Bakar ash-Shiddiq  , aku berkata, “Kalau engkau suka aku nikahkan engkau dengan Hafshah putriku.” Tetapi Abu Bakar   diam membisu, tidak menjawab dengan sepatah kata pun. Maka aku pun jengkel dan marah kepadanya lebih daripada kepada ‘Utsman. Lalu aku diam selama beberapa malam, kemudian Nabi   meminangnya, maka aku pun menikahkan Hafshah   dengan beliau. Kemudian Abu Bakar menemuiku seraya berkata, ‘Boleh jadi engkau marah kepadaku ketika engkau menawarkan Hafshah   kepadaku akan tetapi aku tidak menjawabnya dengan sepatah kata pun.’ Aku menjawab, ‘Benar!’ Lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menjawab tawaranmu kepadaku selain karena aku telah mendengar bahwa Nabi   pernah menyebut-nyebutnya, maka aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rosululloh  . Seandainya Nabi   meninggalkannya tentulah aku menerima Hafshah.” (HR. al-Bukhari)

Terkait dengan ini Anas bin Malik   bercerita: “Pada suatu hari Rosululloh   mendatangiku ketika aku sedang bermain dengan anak-anak kecil sebayaku. Beliau memberi salam kepada kami lalu mengutusku untuk suatu keperluan beliau. Karena itu, aku terlambat pulang menemui ibuku. Maka tatkala aku pulang, ibuku bertanya, ‘Kenapa engkau terlambat?’ Aku menjawab, ‘Rosululloh telah mengutusku untuk suatu keperluan.’ Ibu bertanya, ‘Apa keperluan beliau?’ Aku menjawab, ‘Itu rahasia.’ Ibuku berkata, ‘Kalau begitu jangan sekali-kali engkau ceritakan rahasia Rosululloh   kepada seorang pun.” (HR. Muslim)

Dalam kaitan amanah majelis ini, ada satu kisah menarik tentang taubatnya seorang sahabat yang merasa telah melanggar amanah besar dan melakukan pengkhianatan kepada Alloh   dan Rosul-Nya  . Peristiwa ini terjadi ketika kaum Muslimin mengepung benteng-benteng Yahudi Bani Quraidhah. Setelah tentara para sahabat Rosululloh   mengepung ketat pertahanan kaum Yahudi Bani Quraidhah di benteng-benteng mereka, maka seorang pemimpin mereka, yaitu Ka’ab mengundang seorang sahabat Nabi   , yaitu Abu Lubabah bin ‘Abdul Mundzir   untuk dimintai masukan dan pendapatnya.

Abu Lubabah   memenuhi undangan mereka. Sebagai catatan, pada masa Jahiliyah dahulu, Yahudi Bani Quraidhah termasuk sekutu Abu Lubabah dan kaumnya. Pemimpin Yahudi itu bertanya kepadanya, “Apakah sebaiknya kami menyerahkan diri kepada Muhammad dan menerima apa saja hukum yang akan beliau putuskan terhadap kami?” Abu Lubabah menjawab, “Ya, (seraya mengisyaratkan ke tenggorokannya seolah-olah mengingatkan mereka bahwa hukuman yang akan mereka terima adalah disembelih).”

Baca Juga : PENGERTIAN AMANAH

Kemudian Abu Lubabah   segera tersadar bahwa dirinya telah mengkhianati Rosululloh  , maka ia pun berlalu dalam keadaan linglung dan tak tahu apa yang mesti ia perbuat. Sampai ia pun mendatangi masjid Madinah. Di sini ia mengikat dirinya di sebuah tiang masjid. Ia bersumpah tidak boleh dilepas ikatan itu sampai Alloh   menerima taubatnya.

Maka Alloh   pun menerima taubatnya dan menurunkan beberapa hari setelah itu sebuah ayat yang berbunyi:
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka telah mencampur adukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan yang buruk, mudah-mudahan Alloh menerima taubat mereka. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS. at-Taubah [9]: 102)
Semoga Alloh   menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang amanah dan tidak khianat. Amin....

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.