PENGANGKATAN ALI BIN ABI THALIB MENJADI KHALIFAH SETELAH UTSMAN


Pengangkatan ‘Ali    sebagai khalifah tidak seperti pengangkatan khalifah yang lain. Jika Abu Bakar  , di-angkat dengan peristiwa di Saqifah Bani Sa’idah, ‘Umar diangkat dengan wasiat Abu Bakar   , dan ‘Utsman   diangkat dengan hasil syura seperti yang diperintah-kan oleh ‘Umar  , maka pengangkatan ‘Ali   sebagai khalifah adalah berbeda. Inilah fleksibelitas syari’at Islam dan bukan sebaliknya bahwa Islam tidak memiliki ajaran politik sebagaimana yang disampaikan oleh orang-orang sekuler.

Setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan  , kaum Muslimin memilih ‘Ali bin Abi Thalib   untuk menjadi pemimpin mereka dengan suara mayoritas. Para sahabat mendesaknya agar ia menyelesaikan kemelut yang menimpa mereka. Kondisi saat itu telah mengalami kekacauan dan para pemberontak telah menguasai kondisi lapangan. 

Akhirnya beliau menerima tampuk kepemimpinan walaupun tidak pernah bernafsu untuk memegangnya. Pembai’atan terhadap ‘Ali   terjadi pada hari Jum’at 13 Dzulhijjah 35 H.

Kepribadian ‘Ali Bin Abi Thalib  

Memperbincangkan dan membicarakan sosok sahabat mulia ini dari berbagai aspek positifnya tak akan habis-habisnya.
Pesona kebaikannya melimpah ada pada dirinya hingga goresan pena tak henti-hentinya mengungkapkan sisi kehidupan pribadinya.
Jiwa dan hatinya begitu bersih akibat dipenuhi gizi keimanan. Pantaslah terlahir darinya kepribadian yang mengagumkan lagi menyenangkan yang layak dijadikan sebagai suri teladan bagi kaum Muslimin secara estafeta.

1. Kepahlawanannya di medan jihad.

Sejak muda, ‘Ali bin Abi Thalib   adalah seorang yang merindukan mati syahid, laksana seseorang yang haus merindukan air yang segar. Lembaran-lembaran kehidupannya ia penuhi dengan jihad dan kepahlawanan. Ia adalah seorang prajurit berkuda yang tangguh dan seorang mujahid yang militan. 

Sebelum perang Badar mulai, dari barisan kafir Quraisy tampil tiga orang prajurit pilihan. Mereka adalah ‘Uthbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah dan Walid bin ‘Uthbah. Mereka berseru; “Siapakah yang sanggup melakukan perang tanding melawan kami?”. Maka majulah beberapa pemuda dari kaum Anshar, ‘Uthbah berkata; “Kami tidak butuh kepada kalian yang kami inginkan adalah orang-orang dari suku kami!”. Maka Rosululloh bersabda; “Ba-ngunlah wahai Hamzah, bangunlah wahai ‘Ali, dan ba-ngunlah wahai “Ubaidah bin Harits!”. 

Maka majulah Hamzah   menghadapi ‘Uthbah, ‘Ali   menghadapi Syaibah dan ‘Ubaidah   menghadapi Walid. Dengan mudah Hamzah   menghabisi ‘Uthbah dan ‘Ali   menghabisi Syaibah, sedangkan ‘Ubaidah   dan Walid masing-masing melukai lawannya. Kemudian Hamzah dan ‘Ali   segera menghabisi Walid, lalu mem-bopong ‘Ubaidah   yang tak lama setelah itu menghem-buskan nafas terakhirnya.

Kepahlawanan ‘Ali   terulang kembali dalam perang Khandaq (Ahzab). Salah seorang pendekar perang Quraisy, ‘Amru bin Abdu Wudd keluar dari tengah-tengah barisan Quraisy seraya berseru kepada kaum Muslimin; “Siapakah yang sanggup menghadapiku!”. ‘Ali berkata kepada Rosu-lulloh; “Saya yang akan menghadapinya, wahai Rosululloh!”. Lalu beliau bersabda; “Duduklah engkau, ia adalah ‘Amru.”. Kemudian ‘Amru berteriak sekali lagi; “Tidak adakah se-orang laki-laki yang sanggup menghadapiku? Bukankah kalian mengatakan bahwa jika salah seorang di antara kalian terbunuh akan masuk surga? Maka kenapa tidak ada seorang laki-laki di antara kalian yang tampil?”. ‘Ali berkata; “Saya ya Rosululoh!”. Beliau bersabda, “Duduklah”. Kemudian ‘Amru mengulangi kembali tantangannya dengan melantunkan bait syair yang bernuansa kesom-bongan. Maka ‘Ali berkata; “Saya ya Rosululloh!”. ‘Ali berkata; “Meskipun ‘Amru sekalipun!”. Akhirnya Rosululloh   mengizinkannya.

Dalam perang tanding tersebut ‘Ali   berhasil mem-bunuh ‘Amru dengan menebaskan pedangnya ke pundak ‘Amru. Maka ‘Ali pun bertakbir sebagai tanda kemenangan-nya.

2. Kezuhudannya.

‘Ali bin Abi Thalib   tak sedikitpun terpesona dan terlena dengan kehidupan dunia. Ia tahu betul hakikat kehidupan sebenarnya. Oleh karena itu, ia mampu me-ngendalikan perhiasan dunia yang begitu menggoda.
Itulah cahaya kezuhudan yang tertanam dalam jiwanya. Kezuhudan akibat buah tarbiyah dari madrasah nabawi.

Dhirar bin Dhamrah al-Kinani   pernah menyifati ‘Ali   sebagai berikut:
“Beliau adalah orang yang jauh pandangannya, kuat fisiknya, kata-katanya tegas (jelas), menghukum dengan adil, tidak tertarik dengan dunia dan perhiasannya, akrab dengan malam dan kesunyiannya, air matanya deras meng-alir, banyak berpikir, sering menghisab dirinya, seorang dengan pakaian yang kasar dan makan yang sederhana, orang yang kuat tidak berhasrat akan melakukan kebatil-an, aku bersaksi sungguh aku pernah melihatnya dalam kesendiriannya. Ia berdiri di mihrabnya seraya meng-genggam jenggotnya, tubuhnya bergoyang bukan karena sakit, atau menangis sedih, aku mendengar suaranya lirih;
“Wahai dunia...Wahai dunia, apakah kepadaku engkau hendak menggoda? Apakah kepada engkau merindu?

Oh... jauh nian, jauh nian...godalah orang selainku, sungguh aku telah menceraikanmu dengan talak tiga, dan tak akan pernah rujuk lagi!! Usiamu sangat singkat, kehi-dupanmu hina, bahayamu sangat besar. Oh...alangkah sedikit bekalku, alangkah jauh perjalanku dan alangkah sepinya titian jalan...”
Ketika memangku jabatan khalifah, ia diminta untuk tinggal di istana negara sebagai Amirul Mukminin. Sebuah gedung yang tinggi, sangat indah, megah dan mempesona. Ketika melihatnya, spontan ia berpaling ke belakang seraya berkata:

“Istana brengsek ini! Aku tidak sudi tinggal di dalam-nya selama-lamanya.”
Begitulah, beliau menolak untuk tinggal di istana. Be-liau tetap di rumahnya yang sangat sederhana sampai ber-pisah dengan dunia.
Kekhalifahan tidaklah menambah kemuliannya, justru beliau yang memperindah kekhalifahan dengan keadilan, zuhud dan ilmunya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Ahmad bin Hambal  :
“Sesungguhnya kekhalifahan tidaklah menghiasi ‘Ali, justru beliaulah yang menghiasi kekhalifahan tersebut!”

BACA JUGA : ALI BIN ABI THALIB DAN KEUTAMAANYA

‘Umar bin Abdul ‘Aziz   pernah berkata:
“Manusia yang paling zuhud dengan dunia adalah ‘Ali bin Abi Thalib.” 
‘Amru bin Qais   menyatakan bahwa sesungguhnya ‘Ali bin Abi Thalib pernah terlihat mengenakan sarung yang bertambal. Kemudian beliau ditegur karena pakaian-nya itu, maka ia menjawab:
“Agar orang Mukmin mencontohnya, dan agar hatiku menjadi khusyu’ karenanya.” (HR. Ahmad)

3. Ketawadhu’annya.

‘Ali bin Abi Thalib   adalah orang yang sangat tawa-dhu’ (rendah hati) ia pernah berpakaian yang robek dan kasar padahal ketika itu, ia adalah Amirul Mukminin.
Ia   mengenakan pakaian yang robek bukan karena tidak mampu membeli yang bagus, akan tetapi ia memaksa diri untuk mendidik jiwanya, dan merefleksi hatinya agar lebih dekat dan khusyu’ kepada Alloh  . Karena semakin jauh dari dunia, maka ia akan semakin dekat dan bergan-tung kepada Alloh   sehingga membantunya untuk banyak beramal dan bertaqarrub kepada-Nya. Selain itu pula, se-derhana dalam berpakaian juga akan lebih bisa dijadikan qudwah (teladan) oleh pengikutnya.

Dalam kesempatan lain, ‘Ali bin Abi Thalib   pernah membeli kurma dengan harga satu dirham, maka ia men-jinjingnya sendiri. Kemudian banyak orang yang mena-warkan untuk membawakannya, maka ‘Ali   berkata:
( لاَ، أَبُو الْعِيَالُ أَحَقُّ أَنْ يَحْمِلَ )
“Tidak, seorang kepala keluarga lebih berhak untuk membawanya sendiri.” (HR. Ahmad)

Allohu Akbar, betapa tinggi ketawadhu’an ‘Ali  . Betapa jelas sikap kelembutan pada rakyatnya. Ialah Amirul Mukminin yang menjinjing belanjaannya sendiri, berjalan di pasar bersama rakyatnya, tidak ridha atas bantuan orang yang menawarkan bantuannya, sebab ia masih merasa mampu dan tidak membutuhkan bantuan tersebut.

Ketawadhu’an Amirul Mukminin ini didasari oleh keyakinannya pada urgensi dari akhlak tersebut. Ia yakin bahwa sikap tawadhu’ akan mempengaruhi masyarakat sekitar sehingga mereka pun merasa senang dan bahagia hidup bersama. Bahkan inilah satu sikap yang diperintah-kan oleh Alloh   kepada Nabi-Nya, Muhammad  . 
Alloh   berfirman:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. asy-Syu’ara’ [26]: 215)4. Keadilannya.
Adapun akhlak beliau   bersama keluarganya, dan keadilannya bersama para istrinya tampak jelas sekali. ‘Ali bin Robia’h   telah meriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib   memiliki dua orang istri. Ketika ia mem-belikan salah satu istrinya daging seharga setengah dirham, maka keesokan harinya iapun membelikan istrinya yang lain daging setengah dirham.
Kemudian ‘Ashim bin Kulaib   pernah meriwayatkan tentang keadilannya tentang anak-anaknya. Ia berkata: “Pada suatu hari ‘Ali bin Abi Thalib datang dari Ashbahan membawa harta, maka ia membagi harta itu menjadi tujuh bagian. Kemudian iapun membagi rotinya menjadi tujuh bagian sebagaimana telah membagi harta. Kemudian mengundi ketujuh anaknya tersebut, siapapun nama me-reka yang keluar, maka akan mendapatkan bagian pertama kali.

5. Kebijakannya.

Sudah diketahui bahwa ‘Ali bin Abi Thalib   memiliki sikap yang tegar dan kuat pendirian dalam membela kebe-naran. Setelah dibai’at sebagai khalifah, ia cepat mengambil tindakan dengan segera mengambil perintah yang menun-jukan ketegasan sikapnya, di antaranya:
a. Memecat beberapa gubernur yang pernah diangkat oleh ‘Utsman bin ‘Affan  , yang berasal dari golong-an Bani Umayah. Sebab menurut ijtihad ‘Ali bin Abi Thalib   mereka adalah penyebab terjadinya fitnah dan kerusuhan.
b. Mengembalikan tanah-tanah dan hibah dalam jumlah yang sangat besar kepada para pemilik tanah sebelumnya.

6. Sikapnya kepada musuh.

Akhlak mulia ‘Ali bin Abi Thalib   sangat luas, sam-pai mencakup pada orang sangat memusuhinya, bahkan yang membahayakannya sekalipun, yaitu Abdul Rohman bin Muljam yang telah menikamnya. Amirul Mukminin telah memerintahkan kepada anaknya untuk berbuat baik kepadanya, memberikan makanan dan minuman yang baik serta tidak memutilasi mayatnya jika dibunuh. 

Ia mengatakan kepada mereka tentang Abdul Rahman bin Muljam:
( إِنَّهُ أَسِيْرٌ، فَأَحْسِنُوا نُزُلَهُ، وَأَكْرِمُوا مَثْوَاهُ، فَإِنْ بَقِيْتُ قَتَلْتُ أَوْ عَفَوْتُ، وَإِنْ مُتُّ فَاقْتُلُوْهُ وَلاَ تَعْتَدُوا، إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ )
“Sesungguhnya ia adalah tawanan, maka baguskanlah jamuannya dan muliakanlah tempatnya. Jika aku hidup, maka aku akan membunuhnya atau memaafkannya. Jika aku mati, maka bunuhlah ia dan jangan melampaui batas, karena sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (HR. Ahmad)

Pujian Salaf Kepadanya

‘Ali   adalah seorang sahabat yang dikarunia Alloh   ilmu yang luas dan pemahaman yang mendalam. Abu Sa’id al-Khudhri   berkata bahwa ia pernah mendengar ‘Umar bin al-Khaththab   bertanya kepada ‘Ali   tentang sesuatu hal. Setelah dijawab oleh ‘Ali  , maka ‘Umar   berkata:
( أَعُوْذُ بِاللهِ أَنْ أَعِيْشَ فِي قَوْمٍ لَسْتَ فِيْهِمْ يَا أَبَا حَسَنٍ )
“Aku berlindung kepada Alloh dari hidup di tengah-tengah suatu kaum yang engkau tidak berada di situ, wahai Abu Hasan (‘Ali)!”

‘Abdullah bin Mas’ud   berkata:
( كُنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّ أَقْضَى أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ )
“Kami berdiskusi bahwa orang yang paling mengerti tentang qadha’ (peradilan) di antara penduduk Madinah adalah ‘Ali bn Abi Thalib.”

Abul Aswad ad-Du’ali   pernah memuji ‘Ali   dengan beberapa bait syairnya:
“Menegakkan keadilan tanpa ragu-ragu, bersikap adil baik terhadap musuh maupun kerabat....

Sebuah jiwa yang tak pernah mencicipi dunia, tidak juga lezatnya makanan....
Makanannya adalah din sejak kecil, lalu tumbuh di atas ketakwaan, baik semasa penyusuan maupun setelah penyapihan....
Din tersebut telah mengasuhnya di atas sifat pemurah dan ringan tangan, serta membangun baginya pilar kea-gungan....

Jiwa semerbak dan membumbung tinggi dari tujuan mencari dunia, yang mana kecintaan terhadapnya (dunia) telah membuat letih dan memperbudak satu kaum....
Ia berpaling darinya (dunia) meskipun dalam pende-ritaan, muak terhadap para pemburunya, baik biji emas atau kepingannya!”

al-Hasan al-Bashri   berkata: 
( رَحِمَ اللهُ عَلِيًّا، إِنَّ عَلِيًّا كَانَ سَهْمًا ِللهِ صَائِبًا فِي أَعْدَائِهِ، وَكَانَ فِي مَحَلَّةِ الْعِلْمِ أَشْرَفِهَا وَأَقْرَبِهَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ، وَكَانَ رَهْبَانِيَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ، لَمْ يَكُنْ لِمَالِ اللهِ بِالسَّرُوْقَةِ، وَلاَ فِي أَمْرِ اللهِ بِالنُّوْمَةِ، أُعْطِيَ الْقُرْآنَ عَزَائِمَهُ وَعَمَلَهُ وَعِلْمَهُ، فَكَانَ مِنْهُ فِي رِيَاضٍ مُوْنِقَةٍ وَأَعْلاَمٍ بَيِّنَةٍ، ذَاكَ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ )

“Semoga Alloh merahmati ‘Ali. Sesungguhnya ‘Ali adalah panah Alloh yang dibidikkan pada musuh-musuh-Nya. Ia berada di sumber ilmu yang termulia dan terdekat dengan Rosululloh. Ia adalah rahbānī (ahli ibadah) umat ini. Ia bukanlah orang yang gemar mencuri harta Alloh, dan bukan orang yang suka tidur dalam (menegakkan) perintah Alloh. Ia telah diberi al-Qur’an, perintah-perin-tahnya, amalnya dan ilmunya, maka dia berada pada ke-bun-kebun yang indah dan rambu-rambu yang jelas dari al-Qur’an. Dialah ‘Ali bin Abi Thalib.”

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.