JUMLAH FI'LIYAH



I.     PENDAHULUAN
      Puji syukur kepada Allah Ta’ala yang telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Dimana Al-Qur’an adalah pedoman hidup manusia yang mengeluarkan manusia dari kedzaliman menuju jalan yang lurus. Siapa yang mempelajari bahasa ini, maka Allah akan mudahkan baginya untuk memahami Al-Qur’an dan As-sunnah dengan baik dan salah satu bentuk penjagaan Allah terhadap makna Al-Qur’an adalah adanya ilmu bahasa Arab. Salam serta shalawat tercurahkan kepada Nabi terakhir yaitu Nabi Muhammad, keluarga, para shahabat, dan pengikutnya yang meniti jalan yang lurus.
     Kebutuhan umat islam yang mendesak akan kebutuhan bahasa Arab untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits serta ribuan bahkan ratusan ribu buku-buku karangan ulama yang berbahasa Arab belum diterjemahkan secara menyeluruh (sempurna), memotivasi kami untuk mempelajari bahasa ini. Adapun tujuan kami yang lain diantaranya:
1.      Menjaga kemurnian agama islam dengan mengambil (menuntut) ilmu dengan bahasa asalnya yaitu bahasa Arab. Telah kita saksikan bahwasannya musuh-musuh islam senantiasa melancarkan serangan mereka melewati dalam diri islam itu sendiri maupun luar islam. Mereka bermain istilah untuk mengkaburkan umat islam terhadap agamanya. Bahkan dalam istilah-istilah syar’i mereka melancarkan serangannya dengan cara mengubah-ubah maknanya.
2.      Melaksanakan fardhu kifayah (kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin).
3.      Melaksanakan perintah sahabat Umar bin Al-Khattab radhiyallahu’anhu, yaitu:
“Pelajarilah bahasa Arab karena sesungguhnya ia adalah sebagian dari agamamu dan pelajarilah ilmu faraid karena sesungguhnya ia adalah sebagian dari agamamu.”[1]

     Oleh sebab itu, kami menyusun makalah ini dengan semaksimal kemampuan yang kami miliki berdasarkan metode yang telah dosen tentukan. Dengan kemampuan yang kami miliki, mungkin sekali terjadi kesalahan ataupun kekurangan. maka dari itu, kami meminta saran, teguran ataupun pembetulan yang dapat menambah kesempurnaan karya tulis ini. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca.
Bogor, 5 Oktober 2012


Penyusun

II.  PEMBAHASAN
a.       Pengertian jumlah fi’liyah (kalimat verbal)
            Jumlah fi’liyah menurut bahasa terbagi menjadi dua kalimat, yaitu: jumlah yang artinya kalimat dan fi’liyah diambil dari kata fi’il dan ya’ nisbah. Adapun fi’il (kata benda)artinya al-hads (kejadian, peristiwa) dan menurut istilah artinya kata yang menunjukkan suatu makna dan terikat dengan tiga masa yaitu masa lampau, sekarang dan yang akan datang.[2] 
            Sedangkan menurut istilah jumlah fi’liyah adalah:
هي التي تبدأ بفعل وتكون مركبة من فعل وفاعل أو من فعل ونائب فاعل[3]
Jumlah fi’liyah adalah kalimat yang dimulai (diawali) dengan fi’il (predikat) dan tersusun dari fi’il dan fa’il (subjek) atau fi’il(kata kerja) dan naibul al-fa’il.
b.      Kaidah-kaidah tentang al-jumlah al-fi’liyah ( الجملة الفعلية )
Kaidah-kaidahnya terdiri dari fi’il dan fa’il yang terkadang membutuhkan maf’ul yang disebut sebagai fi’il muta’addi dan terkadang pula tidak membutuhkannya yang disebut sebagai fi’il laazim karena maf’ul bukanlah syarat mutlak terbentuknya jumlah fi’liyah. Juga terdiri dari fi’il dan naibul fa’il, fi’ilnya dinamakan sebagai fi’il majhul(intransitive).
Selanjutnya kita akan mencoba membedah mengenai fa’il dan naibul fa’il yang keduanya erat kaitannya dengan  jumlah fi’liyah.
FA’IL
Pengertian fa’il (subjek) adalah isim yang menunjukkan orang yang mengerjakan suatu pekerjaan dan kedudukannya dalam I’rab adalah marfu’[4]. Sedangkan menurut Ibnu Aajurum didalam bab al-fa’il mengartikan fa’il menurut istilah adalah isim marfu’ yang fi’ilnya disebutkan sebelumnya. Kemudian dijelaskan oleh Muhyiyuddin bin Abdul Hamid didalam kitabnya At-tuhfah As-saniyah bahwasannya fa’il secara global (umum) terbagi menjadi dua, yaitu: Isim Sharih dan isim muawwal bi ash-sharih.
                                                              i.      Isim Sharih terbagi menjadi dua, yaitu:
1.     Isim dzahir
Ialah isim yang menunjukkan maknanya tanpa membutuhkan qarinah (indikasi yang lain)[5], misalnya:
الفعل المضارع
الفعل الماضي
يجلس أحمد
جلس أحمد
يجلس الصديقان
جلس الصديقان
يجلس المسلمون
جلس السلمون
يجلس الأصدقاء
جلس الأصدقاء
تقوم المسلمة
قامت المسلمة
تقوم المسلمتان
قامت المسلمتان
تقوم المسلمات
قامت المسلمات
تسافر الزنايت
سافرت الزنايت

2.      Isim mudhmar
Ialah isim (kata benda) yang tidak menunjukkan maksudnya melainkan dengan bantuan qarinah (indikasi) takallum[6], khithab[7] dan ghaibah[8]
Terbagi menjadi dua, yaitu:
a.    Baariz
Terdiri dari dua macam, yaitu:
-          Muttasil
-          Munfasil
b.      Mustatir
Terbagi menjadi dua, yaitu:
-          Jawazan
-          Wujuban

                                                            ii.      Isim Muawwal bi Ash-sharih (isim yang dita’wil dengan isim yang sharih)
Misalnya:
يسرني أن تتبسم               يسرني تبسمك
     
      NAIBUL FA’IL
      Ialah Isim marfu’ yang tidak disebutkan fa’ilnya.[9]
                        Dalam suatu jumlah (kalimat) seharusnya membutuhkan fi’il (predikat), fa’il (subjek) dan maf’ul bih (objek). Akan tetapi, dalam pembahasan ini, kita hanya menggunakan fi’il (predikat) dan naibul fa’il (pengganti fa’il). Maka jumlah (kalimat) aktif yang memenuhi tiga syarat diatas diubah menjadi jumlah (kalimat) pasif yang tidak disebutkan fa’ilnya. Adapun fi’il (subjek) yang digunakan dalam jumlah (kalimat) pasif adalah fi’il majhul dan kaidahnya sebagai berikut:
فـإن كان الفعل ماضيا ضم أوله وكسر ما قبل آخره وإن كان مضارعا ضم أوله وفتح ما قبل آخره[10]
Jika fi’il madhi maka huruf yang pertamanya didhammahkan dan huruf sebelum akhirnya dikasrahkan. Adapun untuk fi’il mudhari’ maka huruf yang pertama didhammahkan dan difathahkan hurufnya sebelum akhirnya.
Contoh dari fi’il madhi yang didhammahkan huruf pertamanya dan dikasrahkan huruf sebelum akhirnya adalah
فُتِح الباب
قُتِل الكافرون
قُرِأت الرسالة
كُتِبت الرسائل
Kaidah ini ditambah oleh Fu’ad Ni’mah didalam kitabnnya  Mukhtashor qawa’id al-lughah al-‘arabiyah di juz pertama halaman 48 yaitu:
Jika suatu fi’il didahului dengan ta’ maka huruf yang kedua didhammahkan seperti halnya ta’[11]. Misalnya:
تسلمت سعاد الجائزة   :  تُسُلِّمت الجائزةُ
Jika huruf sebelum akhir adalah alif maka alif tersebut diubah menjadi ya’ dan huruf sebelum ya’ tersebut dikasrahkan[12]. Misalnya:
قال محمد الحق        :  قِيل الحقّ
Kemudian contoh fi’il mudhari’ yang huruf pertamanya didhammahkan dan huruf yang sebelum akhir difathahkan adalah:
يفتح محمد الباب            :   يُفتَح الباب
يقتل المسلمون الكافرين    :   يُقتَل الكافرون
تقرأ عائشة الرسالة         :   تُقرَأ الرسالة
يكتب محمد الرسائل        :   تُكتَب الرسائل
Ditambahkan oleh Fu’ad Ni’mah bahwasannya jika huruf sebelum akhirnya adalah huruf ya’ atau wawu maka huruf tersebut diubah menjadi alif. Misalnya:
يبيع الفلاح القطن           :   يبَاع القطن
يصوم المسلمون رمضان     :   يصَام رمضان
Macam-macam naibul fa’il:
Menurut Ash-shanhaji didalam matan Al-Aajurumiyah, naibul fa’il terbagi menjadi dua macam yaitu dhahir dan mudhmar[13]. Sedangkan menurut Fu’ad Ni’mah  naibul fa’il terbagi menjadi empat, yaitu: isim mu’rab, isim mabni, mashdar muawwal dan masdar sharih (dzarfu muttasharif / jar dan majrur).[14]
III.             PENUTUP
      Dari makalah yang telah kami susun ini, besar harapan kami agar bermanfaat bagi semua kalangan, baik kalangan mahasiswa ataupun umat muslim di Negara kita ini. Wallahua’lam bi ash-shawab





DAFTAR PUSTAKA

Al-Maqthari, Muhammad Ash-Shaghir bin Qa’id. Al-Hulalu adz-dzahabiyah ‘ala at-tuhfah as-saniyah. 2007. San’a:  Maktabah Al-Imam Al-Albani.
Fida’, Abu. Mumti’ah al-aajurumiyah ma’a ats-tsamru ad-daani. 2010. San’a:  Dar al-atsar.
Abdul Hamid, Muhyiyuddin, At-tuhfah as-saniyah. 2010. Jogjakarta: Media hidayah.
Fuadz, Nikmah. Mulakhas Qawaid Al-lughah Al-‘arabiyah. Beirut:  Dar Ast-staqafah Al-islamiyah.
Al-Hamid, Abdullah, dkk. Silsilah ta’lim al-lughah al-‘arabiyah al-mustawa ats-tsani. Jakarta: jami’ah ad-da’wah wa at-ta’lim.

     



[1] Muhammad Ash-Shaghir bin Qa’id Al-Maqthari, Al-Hulalu adz-dzahabiyah ‘ala at-tuhfah as-saniyah, Maktabah Al-Imam Al-Albani, San’a, hlm.17
[2] Abu fida’, Mumti’ah al-aajurumiyah ma’a ats-tsamru ad-daani, Dar al-atsar, San’a, hlm.5
[3] Nikmah Fuadz, Qawaid Al-lughah Al-‘arabiyah, Dar Ast-staqafah Al-islamiyah, Beirut, hlm.169. lihat juga silsilah ta’liimi al-lughati al-‘arabiyah hlm.61
[4] Silsilah ta’lim al-lughah al-‘arabiyah al-mustawa ats-tsani, jami’ah ad-da’wah wa at-ta’lim, Jakarta, hlm.205
[5] Muhyiyuddin bin Abdul Hamid, At-tuhfah as-saniyah
[6] Takallum yang dimaksud disini adalah mutakallim yaitu orang yang pertama (pembicara)
[7] Khithab yang dimaksud adalah mukhattab yaitu orang yang kedua (lawan bicara)
[8] Ghaibah yang dimaksud adalah ghaaib yaitu orang yang ketiga (orang yang dibicarakan)
[9] Matan Al-Ajurumiyah
[10] Ibid
[11] Yaitu fi’il mazid 1 dengan wazan تفعل
[12] Yaitu pada fi’il ajwaf. Lihat di mukhtashor qawa’id al-lughah al-‘arabiyah juz 2 hlm.64
[13] Lihat di matan Al-Aajurumiyah bab aqsam naibil fa’il
[14] Lihat penjelasannya di kitab mukhtashor qawa’id al-lughah al-‘arabiyah juz1 hlm. 49

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.