MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER ADAB MURID DALAM MENUNUTT ILMU

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang
Manusia diciptakan Allah Ta’ala secara sempurna di alam ini. Hakekatmanusia yangmenjadikan ia berbeda dengan lainnya adalah bahwasesungguhnya manusia yang membutuhkan bimbingan dan pendidikan.Hanya melalui pendidikan manusia sebagai homo educable dapat dididik,dengan pelantara guru. Dan pendidikan sebagai alat yang ampuh untukmengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri manusia. Sehinggaia mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan pengembangkebudayaan.
Untuk membentuk pribadi atau watak terhadap anak ini, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, melalui pendidikanlah pribadi tersebut akan tercipta atau melekat pada jiwa anak, dan dalam pendidikan ini memperkenalkan beberapa metode antara lain metode kebiasaan, keteladanan dan lain-lain. Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakanya dalam proses belajar mengajar.
Hendaklah orang tua untuk selalu membiasakan dan melatih anaknya untuk menghormati guru atau memuliakannya dan orang yang lebih tua dari padanya. Di antara memuliakan guru adalah tidak berjalan di depannya, tidak memulai berbicara kecuali mendapat izin darinya, tidak banyak bicara, tidak mengajukan pertanyaan didapat guru dalam keadaan tidak enak, dan jagalah waktu, jangan sampai mengetuk pintunya, harus sabar menunggu sampai guru keluar.Karena pembiasaan-pembiasaan dan latihan tersebut akanmembentuk sikap tertentu pada anak yang lambat laun sikap itu akanbertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi telah masukmenjadi bagian dari pribadinya.
B.     RumusanMasalah
Dari uraian di atas, maka timbulah pertanyaan“Apa saja karakteratauadabpeserta didik dalam kitab Thalab al-’Ilm ?
C.    TujuanPembahasan
UntukmengetahuibagaimanakaraktersorangpesertadidikdalamkitabThalab al-’Ilm.

BAB II
PEMBAHASAN
KARAKTER PESERTA DIDIK DALAM KITAB THALAB AL-’ILM

A. Pengertian Adab PesertaDidikdalamMenuntutIlmu
Kata adabberasal dari bahasa Arab yaitu aduba, ya’dabu, adaban, yang mempunyai arti bersopan santun, beradab.[1]Kataadab ini tidak sering digunakan dalamkehidupan sehari-hari dan yang sering digunakan adalah kata akhlak.
التخلقبالأخلاقالكريمةوحسنالمعاملةفيالقولوالفعليسمىأدباوانسانية
“Berakhlak dengan akhlak yang mulia dan bagusnya cara bergauldalam ucapan maupun perbuatan inilah yang dinamakan adab dankemanusian[2]
Sedangkan peserta didik adalah orang yang sedang berada dalam proses mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidup agar bahagia di dunia dan diakhirat.
Dari uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa adab peserta didik dalam menuntut ilmu adalah bagaimana interaksi seorang peserta didik dengan lingkungannya dalam proses belajar mengajar.

B. Adab PesertaDidikKetikaMenuntutIlmudalamKitabThalab al-’Ilm
Pendidikan seharusnya dipahami sebagai suatu proses timbalbalik tiap-tiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya denganalam, dengan teman (sesama teman), dan dengan alam semesta. Dariproses pendidikan tersebut dapat menimbulkan perubahan pada pribadimanusia.
Dalam proses pendidikannyaseorangpesertadidikpastiakanberinteraksidenganseluruhkomponen yang mendukungterlaksananyapendidikantersebut, sehinggaperlubaginyauntukmemperhatikansifatdankodeetikbagiseorangpesertadidik. Menurut Ibnu Jama’ah, yang dikutip oleh Abd al-AmirSyamsal-Din, etika atau adabpeserta didik terbagi atas tiga macam, yaitu:
1)   Adab terhadap diri sendiri
Hal pertama yang harus dilakukan olehpesertadidik berkaitan dengan faktor iniadalah membenarkan niat. Belajar denganniat ibadah dalam rangka Taqarrubkepada AllahTa’ala. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli),(QS. al-An’am: 162, al-Dzariat: 56)[3]
Niat yang benar sangat menentukankeberhasilan danditerimanyasuatuamal perbuatansebagaiibadah. Sedangkan untuk mencapai keikhlasan, seorang peserta didik dalambelajarnya hendaknya berniat untuk mencari ridho Allah Ta’aladanmemperoleh kebahagiaan akhirat bukan mencari keuntungan dunia.Karena pencarian ridha Allah dan akhirat otomatis akan memberikankeuntungan dunia.[4]
Kedua, memilki hasrat (hirsh), yaitu kemauan, gairah, moril, dan motivasi yang tinggi dalam mencari ilmu, serta tidak merasa puas dengan ilmu yang diperolehnya. Hasrat inimenjadi penting sebagai persyaratan dalam pendidikan. Sebab persoalan manusia tidak sekadar mampu (qudrah) tetapi juga mau (iradah). Simbiotis antara mampu (yang diwakili kecerdasan) dan mau (yang diwakili hasrat) akan menghasilkan kompetensi dan kualifikasi pendidikan yang maksimal.
Motivasi belajar dalam Islam tidak semata-mata untuk memperoleh; 1) Berprestasi, yaitu dorongan untuk mengatasi tantangan, untuk maju, dan berkembang, 2) Berafiliasi, yaitu dorongan untuk berhubungan dengan oranglain secara efektif, 3) Berkompetensi, yaitu dorongan untuk mencapai hasil kerja yang dengan kualitas tinggi, dan 4) Berkekuasaan, yaitu dorongan untuk mempengaruhi orang lain dan situasi, tetapi lebih dari itu, belajar memiliki motivasi beribadah, yang mana dengan belajar seseorang dapat mengenal (ma’rifat) pada Allah Ta’ala. Karena dia hanya mengangkat derajat bagi mereka yang beriman dan berilmu.[5]
KetigaMenghiasiseluruhaktivitaspribadinyadenganakhlakyang baik. Seperti;  1) Bersikap tawaddhu (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan prbadi untuk kepentingan pendidiknya.[6]2)Bersabar dan tabah (ishtibar) serta tidakmudah putus asa dalam belajar.Sabar menjadi kunci bagi keberhasilan dalam belajar. Karena sabar merupakan inti dari kecerdasan emosional. Banyak orang yangmemiliki kecerdasan intelektual yang baik, tetapi tidak dibarengi oleh kecerdasan emosional (seperti sabar ini) maka ia tidak memperoleh apa-apa.[7]
SyeikhUtsaimindalam kitab SyarhHilyahThaalib al-‘Ilmimengatakan beberapa adab seorang peserta didik terhadap dirinya sendiri yaitu: menghiasi diri dengan rasa takut kepada AllahTa’ala secara lahir dan batin, muroqobah atau merasa diawasi Allah Ta'ala baik dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan, menjaga ‘iffah atau kehormatan diri,  berakhlak yang baik, menjaga  muru’ahatau integritas diri, tidak terus-menerus terlena dalam kemewahan dan kelezatan dunia, dan bersikap lemah lembut selalu dalam tutur kata.[8]
2)   Adab terhadap pendidik
Seorangpesertadidikdalam prosespendidikannyatidaklepasdariinteraction educationatauhubunganantarapesertadidikdenganpendidik. Pesertadidikharusmenghormatipendidiknyalayaknyaseoranganakyang hormatkepadaayahnyabahkandalamhal-halpribadi yang tidaklangsungberkaitandenganpendidikannyasecara formal.Karenapendidikadalah orang tuakedua di sekolahatau di lembagapendidikanlainnya.
Etika peserta didik terhadap pendidiksecaraumum meliputi patuh dan tunduk secara utuh, memuliakan dan menghormatinya, senantiasa memenuhi kebutuhan pendidik  dan menerima semuaketentuan atau hukuman darinya.[9]Seorangpendidiktidaksemata-matamengambilsebuahkebijakantanpamempertimbangkankausalitasdarikeputusannyatersebut.
Hubungan yang terjalin antara peserta didik dan pendidik akanberpengaruh terhadapsikap dan kepribadian peserta didik dalam kesehariannya. Bahkanlebihjauhdariitu, komunikasidaninteraksi yang baikdiantarakeduanyadapatmenentukankeberhasilanpencapaiancita-citapesertadidik.Berkenaan dengan hal ini al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Ihya‘Ulumuddinnya, adab peserta didik terhadap gurunya akan berimplikasi pada keberhasilan cita-cita yang diharapkannya.
Adab peserta didikterhadap pendidik antara lain:
Pertama, seorang peserta didik hendaklah mendengarkan dengan baiksemua nasehat-nasehat pendidiknya danmengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-harikhususnyaketika prosesbelajar supaya mudah mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Nasehat yangdiberikanolehpendidiknyaakanbermanfaatbagipesertadidikuntukmencapaiapa yangdicita-citakannya.
Kedua,menjagakehormatandankewibawaanpendidikdengantidakmenanyakanhal-hal yang bersifatmengujikemampuanilmiahnyatanpafaidahdantidakmemanggilnamanyasecaralangsung.[10]
Ketiga,memaklumikesalahan yang dilakukanpendidikkhususnyadalam proses belajarmengajardenganasumsibahwasetiapmanusiapastipernahmelakukankesalahansekalipunseorangpendidik.[11]
Keempat, dalamproses menuntutilmu, tidakpantasbagipesertadidikapabilamemilihpendidikberdasarkantipologiapakahdiaterkenalatautidak, karenailmubisadidapatkandarisiapasajadandimanasajameskipunberasaldariseseorang yang derajatkeilmuandantingkatkecerdasannyalebihrendah.
فلا يبغى لطالب العلم أن يتكبر على المعلم و من يتكبر على المعلم ان يستنكفعن الاستفادة إلامن المرموقين المشهورين
Tidaklahlanyakseorangpelajarmenyombongkanterhadappendidiknya, termasuksebagiandaripadamenyombongterhadappendidikitu, ialahtidakmaubelajarkecuali yang terkenalbenarkeahliannya”.
Kelima,hendaklah peserta didikmengerahkan seluruh kemampuannya untuk bisa fokus memperhatikan dan mendengarkan penjelasan yang disampaikanpendidik, supaya dapat menyerap seluruh informasi yang disampaikan pendidik pada saat pengajaran berlangsung.Mengenaihaltersebutal-Ghazali mengibaratkan seorang peserta didikbagaikan hamparantanah kering yang diguyurolehair hujan yang sangatlebat. Maka meresaplahseluruh air hujan yang jatuhkedalamtanahsecaramerata.
فلا ينال العلم إلا با لتواضع وإلقاالسمع
“Ilmupengetahuantidaktercapaiselaindenganmerendahkanhati danpenuhperhatian”.
Keenam,seorang pelajar harus bersikap sopan dan tidak boleh mengajukan suatu pertanyaan sebelummeminta izin terlebih dahulu terhadap pendidiknya. Karenasecaraumumpendidiklebih mengetahui tentang kemampuanpesertadidiknyadankapanwaktu yang tepatuntukmenyampaikansebuahmaterikepadanya.Sebagaimana ungkapan al-Ghazali sebagai berikut:
Tinggalkan bertanya sebelum waktunya ! pendidik lebih tahu tentangkeahlianmu dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu.Sebelum waktu itu datang dalm tingkatan mana pun juga, makabelumlah datang waktunya untuk bertanya.”[12]
Ketujuh, seorangpesertadidikhendaknyamengertidanmemahamikondisipendidiknyasehinggabisamenempatkandirikapandiaharusbertanya, memintapenjelasanulangtentangpelajaran yang diajarkanatauhal-hal lain yang berpotensimemancingkemarahanpendidik. Meskipun di sampingitujugapendidikmempunyaikodeetiktersendirisesuaiprofesinyasebagaipengajar. Sebagaimana perkataan Alibin AbiThalibrodiallohu‘anhu : “Hak dari seorang yang berilmu, ialah jangan engkau banyak bertanya! jangan engkau paksakan dia menjawab, jangan engkau minta, bila dia malas.[13]




3)   Adab terhadap ilmu
Ada beberapapoin yang diungkap dalam masalah adabpesertadidik terhadappelajaran:
a.       Ta’dzimal-‘ilm atau mengagungkan ilmu baik dalam bentuk catatan dengan memperindah tulisan, menjaga kebersihan dan kerapihannya maupun rekaman dengan menjaga keotentikannya apalagi berupa teks nash baik al-Qur’an maupun al-Hadits sebagaimana yang dicontohkan Imam Malik ketika akan mengajarkan hadis kepada muridnya, beliau berwudlu terlebih dahulu kemudian memakai wewangian dan menaruh kitab di tempat yang tinggi sebagai bentuk pengagugan terhadap ilmu.
b.      Mendahulukan ilmu agama sebagai pondasi utama sebelum ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi dalam suatu kondisi, keduanya bisa dipelajari secara bersamaan secara proporsional tanpa mengurangi kemuliaan ilmu agama itu sendiri.
c.       Bertahap dalam mempelajari atau mengkaji satu ilmu mulai dari muqadimahmutammimah kemudian muthowwilah.
d.      Mengamalkan atau mengaktualisasikan ilmu yang telah dipelajari sesuai ranahnya asing-masing selama masih ada dalam koridor kebaikan dan kemaslahatan.
e.       Tidakbersikapsombongdenganilmu yang telahdiperolehnya.
أن لا يتكبر على العلم ولا يتأخر على المعلم
“Pesertadidiktidakbolehsombongdenganilmu yang dimilikinya dan tidakmenentangpendidiknya.”[14]

Dari beberapa adab yang dikemukakan di atas, tidak sepenuhnya mutlak berlaku di setiap lembaga pendidikan. Kedudukan‘urfataukebiasaanterkadangbisamenjadiadab yang harusdijunjungtinggibagipesertadidik. Sehinggabisadikatakanbahwaadasebagianbentukinteraksiantarapendidikdanpesertadidik yang disepakatisebagaisuatuhal yang dianggapbaik, bisamenjadiadabatauetikatertentubagipesertadidik. Hal tersebutmasihdapatditoleransiselamatidakmelanggarkaidahsyari’atataumelampauibatasnorma agama yang berkaitandengankonsepmuamalahdaninteraksisosial.
Hubungan antara peserta didik dengan pendidik dalam prosespendidikan memang harus terjalin denganbaikdengantetapmemperhatikanbatas-batasannya untuk menjaga kesopanan peserta didikterhadap ilmu dan pendidiknya.
Pola hubungan pendidik dan peserta didik di atas masih cukup relevan untuk diaplikasikan dalam kegiatan belajar-mengajar dimasa sekarang, karena hubungan tersebut disamping tidak akan membunuh kreativitas pendidik dan peserta didik, juga dapat mendorong terciptanya akhlak yang mulia dikalangan peserta didik  khususnya, maupun semua pihak yang beperan dalam proses pendidikan.
Para ahli pendidikan Islam masa kini juga telah sepakat bahwa maksud dari pengajaran dan pendidikan bukan hanya berupa transformasi ilmu saja, tetapi juga mendidik akhlak dan jiwa peserta didik, menanamkan karakter baik dan islami pada jiwa mereka, serta mempersiapkan mereka untuk menuju suatu kehidupan yang lebih nyata yaitu ketika berafiliasi dan bersosialisai di tengah-tengah masyarakat. Apabila adab-adab tersebut telah mampu terealisasikan, maka peserta didik akan lebih mudah mencapai apa yang dicita-citakan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Adab harus dimiliki oleh setiap individu supaya jalinan hubungansosialnya berjalan dengan baik dan bermakna. Begitu juga dalam proses pendidikan.Seorang peserta didik hendaklah memikili adab terhadap dirinyasendiri, pendidik, maupunilmu yang sedang atau akan dipelajarinya. Karena eksistensi adab pada proses pendidikan akan mempengaruhi kualitas aspek aksiologi dari ilmu yang diperoleh.
Mulai dari menyucikan jiwanya dengan meluruskan niat, tawadlu’, bersemangat dalam menuntut ilmu, menghormati pendidik, ta’dzimal ‘ilm, dan adab-adab yang lainnya.
Apabila adab-adab tersebut telah mampu terealisasikan, maka peserta didik akan lebih mudah mencapai apa yang dicita-citakan, menjadi seorang pembelajar yang berkarakter islami dan memperoleh keberkahan dalam ilmu.
  
DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul danJusufMudzakir, 2010, IlmuPendidikan Islam, Jakarta :KencanaPrenada Media.
Munawwir, A.W. 1997, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya : Pustaka Progressif.
al-‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 2005. SyarahAdabdanManfaatMenuntutIlmu, Jakarta :Pustaka Imam Asy-Syafi’I.

Sumberdari internet              




[1]A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya : Pustaka Progressif. 1997. Hal.462.
[3]Abdul MujibdanJusufMudzakir, IlmuPendidikan Islam, Jakarta :KencanaPrenada Media, 2010, hal. 113.
[4]http://library.walisongo.ac.idDiunduhpadahariKamis 14 November 2013
[5]Abdul MujibdanJusufMudzakir, IlmuPendidikan Islam, Jakarta :KencanaPrenada Media, 2010, hal. 116.
[6]Abdul MujibdanJusufMudzakir, IlmuPendidikan Islam, hal. 114.
[7]Abdul MujibdanJusufMudzakir, IlmuPendidikan Islam, hal. 118.
[8]Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, SyarahAdabdanManfaatMenuntutIlmu, Jakarta :Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2005, hal. 9-67.
[9]Abdul MujibdanJusufMudzakir, IlmuPendidikan Islam,hal. 119.
[10]Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, SyarahAdabdanManfaatMenuntutIlmu, hal. 107.
[11]Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, SyarahAdabdanManfaatMenuntutIlmu, hal. 118.
[12]http://library.walisongo.ac.idDiunduhpadahariKamis 14 November 2013.
[13]http://library.walisongo.ac.idDiunduhpadahariKamis 14 November 2013.
[14]http://library.walisongo.ac.idDiunduhpadahariKamis 14 November 2013.

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.