RELASI IDEAL GRU DAN MURID

BAB II
 PEMBAHASAN
A.    Biografi Tokoh
a.      SketsaPengarangKitabTa’lim al-Muta’allim[1]
PengarangkitabTa’lim al-Muta’llim Tariq al-Ta’allumialah al-Zarnuji,   yang namalengkapnyaadalahSyekhTajuddinNu’man bin Ibrahim bin al-Khalil Zarnuji. DalamKamus Islam terdapatduasebutan yang ditujukankepadanya, yakni al-ZarnujiialahBurhanuddin al-Zarnuji, yang hiduppadaabad ke-6 H/ 13-14 M danTajuddin al-Zarnuji, iaadalahNu’man bin Ibrahim yang wafatpadatahun 645H. Al-Zarnujiadalahseorangsastrawandari Bukhara, dantermasukulama yang hiduppadaabad ke-7 H, atausekitarabad ke-13-14 M, iadapatdikenalpadatahun 593 H dengankitabTa’lim al-Muta’lim. Kitabinitelahdiberisyarah (komentar) oleh Al-‘Allamah al-Jalil al-Syekh Ibrahim bin Ismail, dengannama, al-SyarhTa’lim al-Muta’llim Tariq al-Ta’allumdanolehSyekhYahya bin Ali bin Nashuh (1007 H/ 1598M) ahlisyairTurkidan Imam Abdul Wahab al-Sya’raniahlitasaufdan al-QadliZakaria al-Anshari.
Tentunyakitabinitidakasinglagibagiduniapendidikan Islam di Indonesia, khususnya di pondokpesantrenSalafiyah, karenakitabinitelahdijadikanreferensiutamabagisantridalammenuntutilmu. Menurut Mahmud Yunusbahwadalamkitabitudisimpulkanpendapatparaahlipendidikan Islam dandikuatkansecarakhususpendapat Imam al-Ghazali.KitabinikhususdalamilmupendidikandanberpengaruhsekalidalamalamIslamisebagaipeganganbagi guru untukmendidikanak-anak.Al-Zarnujitinggal di ZarnuqatauZarnuj, seperti kata itulah yang dibangsakankepadanya.SepertidisebutkandalamQamusIslami, bahwaZarnuqatauZarnujiadalahnamanegeri yang masyhur yang terletak di kawasansungai Tigris (ma wara’aal-nahr) yakniTurtkistanTimur.
Dalamkitabnya secaraimplisit, al-Zarnujitidakmenentukan di manadiatinggal, namunsecaraumuniahiduppadaakhirperiodeAbbasiyah, sebabkhafilahAbbasiyahterakhirialah al-Mu’tashim (wafattahun 1258 M/656 H). Ada kemungkinan pula iatinggal di kawasanIrak-Iran sebabbeliaujugamengetahuisyairPersi di sampingbanyaknyacontoh-scontohperistiwapadamasaAbbasiyah yang beliaututurkandalamkitabnya.
b.      Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy’ari
Kiyai haji hasyim asyari lahir di desa nggedang - salah satu desa dikabupaten jombang jawa timur- pada hari selasa keliwon, tanggal 24 dzulqadah, 1287 H/25 juli 1871 M nama lengkapnya adalah Muhammad hasyim  asy’ari ibnu abdul wahid ibnu abdul halim yang mempunyai gelar pangeran bona ibn Abdurrahman yang dikenal dengan sebutan joko tingkir sultan hadi wijaya ibn abdillah ibnu abdul aziz ibnu abdul fatah ibnu maulana ishaq dari raden ainulyaqin yang disebut dengan sunan giri.[2]
Guru pertamanyaadalahayahnyasendiri yang mendidiknyadenganmembaca al-qurandanlitelatir-litelaturislamlainnya. Jenjangpendidikanselanjutnyaditempuhdiberbagaipesantrenpadaawalnyaiamenjadisantriwonokojo, probolinggo, kemudianpindahkepesantrenlangitantubankemudianberpindahlagikebangkalan. sebelumbelajarkemekah, iasempatnyantridipesantrensiwalantanji, siduarjo, padapesantren yang terakhirinilahia di ambilmenantumenantuolehkiyaiya’qubpadatahun 1882, tidakbeberapakemudianiabesertaistridanmertuanyaberangkat haji kemekah  yang dilanjutkandanbelajardisana. Akan tetapisetelahistrinyameninggalsetelahmelahirkandisusulkemudianputranya, menyebabkannyakembaliketanah air takberselang lama iapunberangkatkembaliketanahsuci.[3]Dan menetapselamatujuhtahun. Di tanahsuciinilahhasyimmencurahkanfikirannyauntukbelajarberbagaidisiplinilmusampaitahun 1896, iatelahmampumengajar. [4]
Setelah menyelasaikan pendidikannya disana di mekah kemudian dia pulang ketanah air, kemudian terlibat aktif pengajaran pesantren kakanya sebelum akhirnya mendirikan pesantren di tebuireng, di pesantren tebuireng iniah hasyim mencurahkan fikirannya, sehingga menghasilkan karya tulisan yang hingga sampai saat ini dapat di manfaatkan dan ditemukan, dan diantara karya tulisan itu :[5]
1.      Adabal’alimwalmuta’alim
2.      Ziyadahatthaliqat
3.      Al-tibyan fi al nahyi ‘’ an muqathiati al arkamwa al qharibwa al ikhwan
4.      Al tanbihat al-Wajibah Liman Yasna’ al-Maulid bi al-Munkarat.
5.      Al-Nur al-Mubin Fi Mahabbah  Sayyid al-Mursalin.
6.      Syeikh Zakariya al-Anshori al-Rahman Bi Syarhi Risalah al-Wali.
7.      Risalah al-Jamaah.
8.      Al-Durar al-Muntaqirah Fi Masail Tis’a  ‘Asyara.
9.      Al-Risalah al-Tauhidiyah.
10.  Al-Qalaid fi Bayani Ma Yuhibu min Al-Aqa’id.



B.     Pemikiran Al-Zurjani dan K.H. Hasyim Asy’ari tentang  Relasi Antara Guru dan Murid
a.      Pemikiran Al-Zurjani tentang relasi guru dan murid
Al-Zarnuji yang hidup pada abad ke 12 termasuk dalam kejayaan ilmu pengetahuan di dunia Islamdan ia termasuk tokoh ulama klasik. Ia banyak mengupas permasalahan etika dalam kerangka relasi guru dan murid. Dalam kitabnya Ta’lim wa Muta’allim ia lebih menonjolkan bagaimana murid beretika kepada guru, sementara persoalan etika guru tidak banyak dibicarakan. Namun demikian, al-Zarnuji memeberikan penegasan bagi guru yakni hendaknya ia menjaga diri dari hal-hak yang dapat merendahkan martabatnya (muru’ah), tawadlu’ dan tidak tamak pada harta dunia.[6]
Dalam kitab Ta’lim, prinsip pokok dalam relasi guru dan murid dapat diketahui dari anjurannya tentang keharusan menghormati ilmu pengetahuan, keutamaan mencarinya, pelajar yang mempelajarinya serta orang yang mengajarkan ilmu. Dari sinilah nampak sekali penghargaaan terhadap ilmu yang begitu tinggi akan berpengaruh terhadap motivasi dan dedikasi yang tinggi baik dari anak didik maupun guru.[7]
Kaitannya dengan ini, al-Zarnuji telah menempatkan sosok guru yang mempunyai nilai tawar tinggi, sehingga keberadaannya harus dihormati dalam segala hal, baik ketika dalam suasana belajar, maupun dilingkungan masyarakat. Khusus dalam proses belajar mengajar, konsep al-Zarnuji berupaya membawa lingkungan belajar menuju pada tingakat letekunan pada masing-masing pelaku. Guru menampakkan keseriusannya sebagai ukuran keikhlasan dan kewibawaan dalam pengajarannya, sedalangkan seorang muta’allim (murid) menunjukkan keseriusannya sebagai manifestasi daya juang untuk pencapaian ilmu yang bermanfaat (al-ilm al-nafi’) sekaligus menempatkannya sebagai menengadah ilmu yang siap setiap saat menerima bentuk dan macam ilmunya yang diajarkan guru.[8]
Bahasan mengenai hubungan murid terhadap gurunya secara singkat dapat dirangkum ke dalam poin- poin berikut[9].
1.         Memilih guru yaitu dengan memilih guru yang lebih ‘alim, wara, dan lebih tua.
2.         Bermusyawarah dalam segala hal, terutama dalam menuntut  ilmu.
Tipe orang dilihat dari kaitannya dengan musyawarah.
a.          Pertama, Rajul (orang yang sempuran), yaitu orang yang mempunyai pendapat benar dan dia mau bermusyawarah.
b.         Kedua, Nishfu rajul (setengah sempurna), yaitu orang yang memiliki pendapat yang benar akan tetapi tidak mau bermusyawarah atau mau bermusyawarah tetapi tidak memiliki pendapat.
c.          Ketiga,La syai’(orang yang tidak berarti), yaitu orang yang tidak mempunyai pendapat dan tidak mau bermusyawarah.
3.         Mempertimbangkan untuk memilih guru yang tepat.
4.         Memilih guru yang tepat bisa menuntut ilmu dengan maksimal sehingga mendapat berkah dan manfaat.
5.         Bersabar dan bertahan dalam belajar kepada seorang guru, tidak meninggalkannya sebelum tamat, tidak berpindah dari satu guru ke guru lain dan dari satu ilmu ke ilmu yang lain.
6.         memuliakan guru berarti menghormati ilmu.
7.         Orang yang mengajarkan ilmu walau satu huruf dalam urusan agama merupakan ayah dalam kehidupan agama (spiritual father).
8.         Tidak berjalan kencang didepan guru, tidak duduk di tempatnya, tidak mulai percakapan dengannya kecuali atas izinnya, tidak banyak bicara dihadapan guru, tidak menanyakan sesuatu ketika sudah bosan, menjaga waktu dan tidak mengetuk pintu  rumah atau kamarnya tetapai harus menunggu sampai beliau keluar.
9.         Murid harus berusaha  mendapatkan keridhaan dari guru menjauhi amarahnya dan menjalankan perintahnya yang mana tidak bertentangan dengan agama.
10.     Menghormati anak-anaknya dan orang yang mempunyai hubungan kerabat dengannya.
11.     Tidak menyakiti guru dan menentangnnya.
12.     Mendengar ilmu dengan respek walaupun sudah mendengar ilmu tersebut seribu kali.
13.     Tidak memilih sendiri ilmu yang akan di tekuninya, tapi harus menyerahkan kepada guru untuk memilihnya karena guru telah berpengalaman untuk memilihnya.
14.     Tidak duduk dekat gurunya pada saat belajar kecuali terpaksa.
15.     Murid dilarang menyela penjelasan guru.





b.      Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari Tentang Relasi Guru dan Murid
Sebagai pemimpin pesantren terkemuka, K.H. Hasyim Asy’ari banyak menjadi rujukan ulama lainnya terutama di Jawa dan Madura. Ia merasa terpanggil untuk menulis sebuah kitab yang memberikan pelajaran tentang etika bagi pendidik dan murid di tengah-tengah upaya modernisasi yang melingkupinya.Kitab yang dimaksud adalah kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim.Dalam kitab tersebut sangat ditekankan pembahasan mengenai adanya etika dalam relasi murid dengan guru dan sebaliknya.[10]
Untuk memahami pokok pikiran dalam kitab tersebutperlu pula diperhatikan latar belakang ditulismya kitab tersebut. Penyusunan karya ini boleh jadi didorong oleh situasi pendidikan yang pada saat itu mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebisasaanlama (tradisional) yang sudah map[an ke dalam bentuk baru (modern) akibat dari pengaruh pendidikan Barat (Imperialis Belanda) diterapkan di indonesia. Karyanya ini merujuk pada kitab-kitab yang ditelaahnya dari berbagai ilmu yang langsung diterima dari para gurunya ditambah dengan berbagai pengalaman yang pernah dijalaninya.[11]
Ia memulai tulisannya dengan sebuah pendahuluan yang menjadi pengantar bagi pembahasan selanjutnya. Kitab tersebut terdiri dari delapan bab, yaitu: keutamaan ilmu dan ilmuawan serta keutamaan belajar mengajar; etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar; etika seorang murid terhadap guru; etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani bersama guru; etika yang harus dipedomani seorang guru; etika guru ketika dan akan mengajar; etika guru terhadap murid-muridnya; dan etika terhadap buku, alat untuk memeperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dari delapan bab tersebut dapat dikelompokkan, yaitu: signifikansi pendidikan, tugas dan tanggung jawab seorang murid, tugas dan tanggung jawab seorang guru.[12]
Apabila ditelisik lebih jauh, maka terdapat relasi yang ideal antara guru dan murid yang tercermin dalam ulasan yang ada di dalam kitab Adab al-‘Ilm wa al-Mu’allim. Relasi yang dimaksud adalah adanyaketerikatan secara intens dan erat tidak hanya dalam artian secara lahir, akan tetapi juga secara batin[13].
Berikut adalah pembahasan mengenai tugas dan tanggung jawab seorang murid dan tugas dan tanggung jawab seorang  guru menurut pandangan beliau.
1)      Tugas Dan Tanggung Jawab Murid
a.       Etika yang harus diperhatikan dalam belajar[14]
1.      Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian;
2.      Membersihkan niat;
3.      Tidak menunda kesempatan belajar;
4.      Bersabar dan qonaah dalam segala macam pemberian dan cobaan;
5.      Pandai mengatur waktu;
6.      Menyederhanakan makan dan minum;
7.      Bersikap hati-hati (wara);
8.      Menghindari maknan dan minuman yang menyebabkan kebodohan dan kemalasan;
9.      Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan;
10.  Meninggalkan hal-hal yang tidak berfaidah.

b.      Etika Seorang Murid tehadap Guru[15]
Dalam pembahasan ini, beliau menawarkan dua belas etika, yaitu;
1.      Hendaknya selalu memerhatikan dan mendengarkan apa yang dikatakan atau dijelaskan oleh guru;
2.      Memilih guru yang wara’(berhati-hati) disamping profesional;
3.      Mengikuti jejak-jejak guru;
4.      Memuliakan guru;
5.      Memerhatikan apa yang menjadi hak guru;
6.      Bersabar atas kekersan kekersan guru;
7.      Berkunjung kepada guru pada tempatnya atau mintalah izin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa harus tidak ada pada tempatnya;
8.      Duduklah dengan rapih dan sopan bila dihadapan guru;
9.      Berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut;
10.  Dengarkan segala fatwanya;
11.  Jangan sekali-kali menyela ketika menjelaskan; dan
12.  Gunakan anggota yang kanan bila menyerahkan sesuatu kepadanya.
Etika seperti ini masih banyak dijumpai pada pendidikan di pesantren, akan tetapi etika yang dijelaskannya sangat langka di tengah budaya kosmopolit. Kelangkaan tersebut bukan berarti bahwa konsep yang ditawarkannya  sudah tidak relevan, akan tetapi masalah yang yang melingupinya kian komplek seiring dengan munclnya bebagai masalah pendidikan islam itu sendiri. Meski demkian , bila dibandingkan dengan pendidikan islam lainnya, maka pemikiran yang ditawarkannya terlihat lebih maju. Hal ini, misalnya, terlihat dalam memilih guru hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.[16]
Pendapat yang dikemukakannya tentang memilih guru juga senada dengan al-Zarnuji, yang mana tertuang dalam pembahasan khusus dalam bab ketiga (fashlun fi ikhtiyar al-‘ilm wa al-ustadz wa al-syarik wa al-tsabat ‘alahi / pasal dalam memilih ilmu, guru dan teman). Memilih guru adalah salah satu dari faktor penentu suksesnya seseorang meraih ilmu yang dia tekuni. Lebih lengkapnya dia menyatakan bahwa: Adapun dalam memilih guru, hendaknya memilih orang yang lebih ‘alim (pandai),  yang bersifat Wara’ (menjaga harga diri) dan lebih tua. Al-Zarnuji pun memandang perlunya musyawarah dalam segala hal, terutama dalam menuntut ilmu. Bahkan dalam hal memilih guru, hendaklah melakukan musyawarah terlebih dahulu. Kemudian dipaparkan pula bahwa seorang murid sebaiknya tidak tergesa-gesa untuk segera berbeda pendapat dengan para Imam/guru, hendaknya dia tinggal selama dua bulan sehingga dia bisa mendapatkan guru yang tepat baginya. Hal ini dimaksudkan agar dia bisa belajar dengan fokus dan kondusif, dikarenakan dia tidak berpindah dari satu guru ke guru lain. Mungkin saja dia belajar kepada seorang yang alim (cerdas) namun dia kurang suka caranya mengajar, maka diindikasikan dia akan berpaling dari guru tersebut dan keberkahan ilmunya tidak ia dapat. Karena terfokusnya belajar pada seorang guru akan menjadikan ilmu tersebut berkah dan bermanfaat.
c.       Ada pula etika lainya yang menyangkut hubungan murid dan guru serta pelajaran, di antaranya:
1.      Memperhatikan ilmu yang bersifat fadhu ain untuk dipelajari;
2.      Harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardu ‘ain;
3.      Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilat para ulama;
4.      mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada orang yang dipercayainya;
5.      Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu;
6.      Pancangkan cita-cita yang tinggi;
7.      Bergaullah dengan orang yang berilmu lebih tinggi (pintar)
8.      Ucapkan salam bila sampai di majlis ta’lim (sekolah/madrasah);
9.      Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan;
10.  Bila kebetulan bersamaan dengan te,man maka sebaiknya jangan mendahului antrian kalu tidak mendapatkan izin
11.  Kemana pun kita pergi dan dimana pun kita berada jangan lupa membawa catatan;
12.  Pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinyu (istiqamah);
13.  Tanamkan rasa antusias/semangat dalam belajar.
Penjelasan tersebut di atas seakan membuka mata kita akan sistem pendidikan di pesantren yang kelihatan kolot, hanya terjadi komunikasi satu arah, memasung kemerdekaan berpikir dan sebagainya. Memang tidak inafikan adanya model pendidikan yang hanya mengandalkan pengetahuan yang disampaikan oleh guru. Akan tetapi sebenarnya bukanlah begitu maksudnya. Boleh jadi karena begitu ketatnyaetika yang diterapkan, sehingga dalam beberapa kasus menutup etika yang lainnya. Sebagai satu contoh adalah, kurang adanya budaya berdiskusi dan tanya jawab dalam proses belajar mengajar di pesantren, bukan berarti bahwa pemikiran tersebut akan terpasung, akan tetapi karena dalam etika sebelumnya dijelaskan bahwa murid dilarang menyela penjelasan guru atau murid harus selalu mendengarkan fatwa guru dan sebagainya, maka kemudian etiak tersebut disalah-pahami pengertiannya dengan tertutupnya budaya bertanya dan berdiskusi di lingkungan pendidikan pesantren. Akan tetapi bila dilihat pemikiran yang ditawarjkkannya, maka pemahaman yang salah tersebut segera berubah, menjadi terbuka, inovatif dan progresif.[17]

2)      Tugas Dan Kewajiban Seorang Guru
a.       Etika seorang guru[18]
Tidak hanya murid yang dituntut untuk beretika,apalah artinya etika diterapkan kepada murid, jika guru yang mendidiknya tidak mempunyai etika. Oleh karena itu ia juga menwarkan beberapa etika yang harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain;
1.         senantiasa mendekatkan diri kepada allah (taqarrub ila Allah );
2.         Senantiasa takut kepada Allah;
3.         Senantiasa bersikap tenang;
4.         Senantiasa berhati-hati;
5.         Senantiasa tawadu’;
6.         Senantiasa khusu,
7.         Mengadukan segala persoalannya kepada Allah;
8.         Tidak memggunkakn ilmunya untuk meraih keduniaan semata;
9.         Tidak selalu memanjakan anak didik;
10.     Berlaku zuhud dalam kehidupan dunia;
11.     Menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah;
12.     Menghindari tempat-tempat yang kotor dan tempat maksiat;
13.     Mengamalkan sunnah nabi;
14.     Mengistiqomahkan membaca Al-Qur’an;
15.     Bersikap ramah, ceria, dan suka menaburkan salam;
16.     Membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai Allah;
17.     Menumbuhkan semngat untuk menambah ilmu pengetahuan;
18.     Tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara menyombongkannya; dan
19.     Membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.
Menanggapai gagasan yang dikemukakannya di atas maka yang pertama terlihat adalah nuansa tasawufnya. Hal ini tidak mengherankan, sebab dalam perilakuannya, ia lebih cenderung pada kehidupan seorang sufi. Demikian juga dengan ilmu yang diseriusi ketika menimba ilmu, khususnya di Mekah, lebih mendalami bidang tassawauf dan hadist, maka kedua ilmu itu pula  yang mewarnai gagasan dan pemikirannya, khususnya dalam bidang pendidikan. Meskipun demikian tidaklah hidup dalam dunia sufi yang jauh dari kehidupan pada umumnya, akan tetapai kehidupannya justru menyatu dengan masarakat dan berusaha membrikan jawaban terhadapa tasawuf dan hadits, maka kedua ilmu itu pula yang mewarnai gagsan dan pemikirannya, khususnya dalam bidang pendidikan. . Meskipun demikian tidaklah hidup dalam dunia sufi yang jauh dari kehidupan pada umumnya, akan tetapai kehidupannya justru menyatu dengan masyarakat dan berusaha membrikan jawaban terhadapa permaslahan yang melingkupinya.
b.      Etika guru ketika mengajar[19]
Seorang guru ketika hendak mengajar perlu memperhatikan beberapa etika. Dalam hal ini ia menawarkan gagasan tentang etika guru ketika mengajar  sebgai berikut :
1.      Mensucikan diri dari hadast dan kotoran;
2.      Berpakaian yang sopan dan rapih dan usahakan berbau wangi;
3.      Berniatlah beribadah ketika mengajar ilmu kepada anak didik;
4.      Sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah;
5.      Biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan;
6.      Berilah salam ketika masuk kedalam kelas;
7.      Sebelum mengajar mulailah terlebih dahulu dengan berdoa untuk para ahli ilmu yang telah lama meninggalkan kita;
8.      Berpenampilan yang kalem dan menjauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata;
9.      Menjauhkan diri dari berguarau dan banyak tertawa;
10.  Jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk, dan sebagainnya;
11.  Pada waktu mengajar hendaklah mengabil tempat duduk yang strategis;
12.  Usahakan tampilannya ramah, lemah lembut, jelas, tegas, dan lugas, serta tidak sombong;
13.  Dalam mengajar hendakalah mendahulukan materi-materi yang penting dan sessuaikan dengan profesional yang dimilki;
14.  Jangan sekali-kali mengajarkan hal yang bersifat syubhat yang bisa membinasakan;
15.  Perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam mengajar dan tidak terlalu lama menciptakan ketenangan dalam ruang belajar;
16.  Menasehati ndan menegur dengan baik bila terdapat anak didik yang bandel; bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan-persoalan yang ditemukan;
17.  Berilah kesempatan kepada peserta didik yang datangnya ketinggalan dan ulangilah penjelasannya agar tau apa yang dimaksud; dan
18.  Bila sudah selesai berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau belum dipahami.

c.       Etika guru bersama murid[20]
Gurudan murid tidak hanya masing-masing mempunyai etika yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tetapi antara keduanya juga mempunyai etika yang sama. Sama-sama harus dimiliki oleh guru dan murid. Di antara etika tersebut adalah:
1.      Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat Islam;
2.      Menghindari ketidakikhlasan dan mengejar keduniawian;
3.      Hendaknya selalu melakukan instrospeksi diri;
4.      Mempergunakan metode yang mudah dipahami murid;
5.      Membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya;
6.      Memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu;
7.      Selalu memperhatikan kemampuan peserta didik;
8.      Tidak terlalu memunculkan salah seorang peserta didik dan menafikan yang lainnya;
9.      Mengarahkan minat peserta didik;
10.  Bersikap terbuka dan lapang dada terhadap peserta didik;
11.  Membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik;
12.  Bila terdapat peserta didik yang berhalangan hendaknya mencari hal ihwal kepada teman-temannya;
13.  Tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada peserta didik;
14.  Tawadhu.
Bila sebelumnya terlihat warm tasawufnya, khususnya ketika membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik, maka pada poin ini terlihat, profesionalitasnya dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang kompetensi seorang guru; utamanya dalam pembahasan ini adalah kompetensi profesional jelas pada saat ia menyusun kitab ini, ilmu pendidikan maupun psikologi pendidikan yang sekarang ini beredar dan dikaji secara luas belum tersebar, apalagi di kalangan pesantren.[21]
                        Dari uraian di atas dapat digambarkan konsep K.H. Hasyim Asy’ari tentang relasi murid dan guru yang meliputi dua arah sebagai berikut:
Guru sebagai mu’allimdan uswah yang wira’i dan shaleh.
Sikap ideal murid:
·         Tawadlu
·         Hormat dan patuh
·         Sabar
·         Ikhlas
·         Ulet
·         Mengakui otoritas keintelektualan guru
Relasi Guru dan Murid Model Satu Arah
Tujuan akhir:
Al-‘ilm al-nafi’ libtighi’i mardlatillah
 (Konsep al-Zarnuji)












Sikap ideal guru:
·         Tawadlu
·         Menghargai murid
·         Ikhlas
·         Mendoakan
·         Menolong
·         Ramah
·         Ridla
Sikap ideal murid:
·         Tawadlu
·         Hormat dan patuh
·         Sabar
·         Ikhlas
·         Ulet
·         Mengakui otoritas keintelektualan guru
Relasi Guru dan Murid Model Dua Arah
Tujuan akhir:
Al-‘ilm al-nafi’ libtighi’i mardlatillah
 (Konsep K.H. Hasyim Asy’ari)





3)      Relevansi antara Pemikiran Al-Zurjani dan K.H. Hasyim Asy’ari
a.      Relevansipemikiran al – ZarnujiK.H.HasyimAsy’aritentangrelasi guru danmurid.[22]
Merekaberduamerupakantokohpendidikan yang dalammemberikankonseprelasiantara guru danmuridsama-samamelandasiajarannyadenganpenekananreligious- ethic.Menurutkeduanyakuncisuksesdalam proses belajarmengajarhanyadapatdihasilkanapabilarelasi guru danmuridadilaksanakansecarabaiksesuaidenganaturandalamprossesbelajarmengajar yang berdasarkepadaahlak.
Hanya saja ada yang membedakan dari telaah kedua tokoh tersebut, dilihat berdasarkan karya yang dihasilkannya.yakni adanya titik tekan yang berbeda dalam menempatkan posisi murid dan guru. Pertama, K.H.HasyimAsy’arimenghendakiadanyapenghormatan yang sama guru kepadamuridnya.Sedangkan dalam karya al-zarnuji terlihat adanya relasi yang linier, yakni murida harus menghormati gurunya tanpa reserve dan tidak sebaliknya.Perbedaan kedua adalah bahwa K.H. Hasyim Asy’ari dalam konsepnya menekanakan adanya evaluasi dimana guru bertindak sebagai evaluator of student learning, yakni sebagai hasil pembelajaran sisiwa. Perbedaan ketiga adalah bahwa dalam kitab Adab al-‘Ilm as al-Muata’allim tidak terdapat pembahasan yang allogical (tidak dapat didiskusikan secara rasional) sebagaimana yang terdapar dalam kitab Tamlimnya al-Zarnuji. Ketiga titik atensi inilah yang merupakan perbedaan signifikan antara keduanya. Adapun persamaannya adalah antara keduanya sama-sama mengedepankan religious ethics dalam proses belajar mengajar. Nampaknya keduanya sepakat bahwa untuk memperoleh al-‘ilm al-nafi’ harus dengan menggunakan akhlak dalam prosesnya. Tanpa akhlak maka keberhasilan pendidikan tidak sampai kepada aspek immaterial-spiritual dan hanya pada aspek material-artificial.[23]
Dalamkonsepkeduanya, makamuridharusmemiliki rasa hormatdanpatuhkepadagurunya yang tidakbolehputus, seumurhidup. Disampingitu rasa hormatnyajugamutlak yang ditunjukandalamseluruhaspekkehidupannya, baikdalamkehidupankeagamaan, kemasyrakatanmaupunpribadi.Melupakanikatandengan guru dianggapsebagaiaibbesar, disampingakanmenghilangkanbarakahdimanatanpaadanyabarokah guru, makaakansangatmengancamdimensikemanfaatanilmupengetahuan yang diperolehmuriddarigurunya. Adanya rasa penghormatandankepatuhaninidiharapkanmuridakanmemperolehridha guru, dan guru kemudianmendoakannya agar ilmu yang diperolehbermanfaat.
Baik KH. Hasyim asy’ari atau al – zarnuji sepakat bahwa penghormatan kepada guru merupakan sesuatu yang mutlak dan tidak dapat di tawar-tawar dalam pandangan keduanya posisi guru yang mengajari ilmu walauun hanya satu huruf dalam konsep keagamaan merupkan bapak spiritual. Olehkarenanya, kedudukanguru sangatlahterhormatdantinggikarenadenganjasanyaseorangmuriddapatmencapaiketinggian spiritual dankeselamatanakhirat.
b.      Relevansi Pemikiran al Zarnuji dan K.H. Hasyim Asy’ari dalam Konteks Pendidikan Indonesia Kontemporer
Relevansi dari kedua tokoh tersebut cukup penting di tengah keadaan sistem pendidikan yang sudah terjebak pada material oriented . Hal ini tidak lain sebagai akibat dari berubahnya cara pandang masyarakat terhadapa guru. guru dinilai  sebagai ‘’ penjual ilmu’’ yang berarti dapat dibeli. Dengan dapat dibelinya guru, sebagai logika bisnis, maka aspek penghormatan dan barakah menjadi tidak ada tempatnya.
Oleh karena itu berfleksi dari pemikiran kedua tokoh tersebut perlu rasanya untuk mengadakan evaluasi diri sejauh manakah perjalanan pendidikan yang ada selama  ini. Mengingat kedudukan guru menjadi uswah, maka apa yang di ungkapkan oleh keduanya halayak untuk direnungkan kembali, yakni guru harus mempunyai potensi akademik yan memadai dengan menjadikan dirinya sebagai top model. Namun demikian tidak sampai mereduksi dalam mengajar yang hanya mengejar uang semata menjadi memang tidaklah mudah ditengah-tengah tuntutan profesionalisme dan kenyataan ekonomi yang di hadapinya. Karenaitu, guru jugaharusmenataniatkembali, begitu pula masyarakatharusmengubahcarapandangterhadap guru yang tidaksemata-matabisadibeli. Kecenderunganmaterialisme yang tinggibisamenyebabkanduniapendidikankehilangankeseimbanganantaraaspekmaterial-artificialdanimmaterial- spiritual.Akibatnya output yang dihasilkantidakjarangjustrumelahirkanmanusia yang memandangsegalasesuatunyadarisudutpandangmateri. Dengandemikian, kejahatan yang besarjustrubanyakdilakukanolehmanusia yang berpendidikan.




[2]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya,Jakarta: Kalam Mulia, 2011, cet. Ke-3,  hlm. 335
[3]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, hlm.335
[4]Sya’roni, Model RelasiAntara Guru danMurid: TelaahAtasPemikiran Al-Zarnuji Dan KH. HasyimAsy’ari,Yogyakarta: Teras, 2007, cet. Ke-1,hlm.55.
[5]Sya’roni, Model RelasiAntara Guru danMurid: TelaahAtasPemikiran Al-Zarnuji Dan KH. HasyimAsy’ari, hlm. 63-64
[6]Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid: Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji dan K.H. Hasyim Asy’ari, hlm. 47.
[7]Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid: Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji dan K.H. Hasyim Asy’ari, hlm. 47.
[8]Sya’roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid: Telaah atas Pemikiran al-Zarnuji dan K.H. Hasyim Asy’ari, hlm. 47.
[9]Al-Zarnuji, Pedoman Belajar Bagi Penuntut Ilmu secara Islami, Terj. Muhammadun Thaifuri, Surabaya: Menara Suci, 1429 H/2008 M, cet-ke-1,hlm 25-47.

[10]Sya’roni, Model RelasiAntara Guru danMurid: TelaahAtasPemikiran Al-Zarnuji Dan KH. HasyimAsy’ari hlm. 66.
[11]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, hlm. 338.
[12]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, hlm. 338.
[13]Sya’roni, Model RelasiAntara Guru danMurid: TelaahAtasPemikiran Al-Zarnuji Dan KH. HasyimAsy’ari hlm. 66.
[14]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, hlm. 339.
[15]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, hlm. 339.
[16]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, hlm. 339.
[17][17]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, hlm. 340.
[18]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, hlm. 341.
[19]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya , hlm. 343.
[20]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya , hlm. 344.
[21]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para TokohnyaHlm. 345.
[22]Sya’roni, Model RelasiAntara Guru danMurid: TelaahAtasPemikiran Al-Zarnuji Dan KH. HasyimAsy’ari, hlm. 95-97
[23]Sya’roni, Model RelasiAntara Guru danMurid: TelaahAtasPemikiran Al-Zarnuji Dan KH. HasyimAsy’ari, hlm. 84.

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.