TAFAKUR DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI MODERN

TAFAKUR DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI MODERN


Dari sudut pandang psikologi modern, tafakur termasuk bagian dari psikologi berpikir. Pada masa-masa awal, psikologi banyak terfokuskan pada studi sekitar pikiran, kandungan perasaan dan bangunan akal manusia.

Tidak diragukan lagi bahwa proses kegiatan akal manusia akan tetap menjadi hal yang kompleks dan pelik, yang bersangkutan dengan rangsangan, respon, pertanyaan dan jawaban yang sulit diukur dan dilihat. Oleh karena itu, studi para ahli akal dan jiwa manusia menghadapkan kita pada pertanyaan yang sulit yang dilemparkan manusia pada dirinya, suatu pertanyaan yang ia hadapai dari dirinya sendiri atau yang ia dapati dari konsepsi agama, yaitu “apakah hubungan sebenarnya antara jasmani dan akal?”

Jawaban pertanyaan ini berkaitan dan mencampuradukkan pemikiran-pemikiran filsafat dan akidah agama dengan kajian-kajian psikologi dan biologi manusia secara umum, khususnya otak dan saraf.

            Pada sisi ini kita mencoba melihat sisi penting perbedaan hubungan antara akal dan otak meskipun kita tidak banyak mengetahui kegiatan otak manusia. Orang-orang yang materialistis berpendapat bahwa tidak ada “akal” bagi manusia kecuali apa yang disebut “otak” dalam bentuk benda yang ada di dalam kepala manusia. Mereka juga mengatakan bahwa apa yang kita sebut akal yang berpikir tidak lain hanya merupakan refleksi dan terjemahan dari perubahan-perubahan tajam yang terjadi pada kimia otak dan denyutan saraf secara elektrokimiai. Dalam hal ini, mereka mengajukan alasan bahwa pemikiran manusia dapat berubah dan berganti apabila otaknya terkena kerusakan atau cedera.

            Kelompok lainnya menegaskan adanya akal akan mengendalikan otak manusia, juag prilaku dan pikirannya. Di antara yang mendukung pendapat ini adalah Eccless, seorang ahli saraf terkemukan dan pemenang Nobel dalam penelitiannya yang penting tentang saraf. Dia menekankan bahwa tidak mungkin menafsirkan pengetahuan yang dicapai para peneliti tentang kegiatan otak dan saraf kecuali dengan adanya “akal” dan “jiwa yang tahu” yang mengendalikan kegiatan saraf dan prilaku manusia.

            Para ilmuan ini mengumpamakan otak manusia dengan televisi dan akalnya dengan stasiun pemancar siaran. Jika terjadi kerusakan pada televisi, gambar akan terganggu bahkan tidak tampak sama sekali

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.