Beberapa Kesalahan Fatal dalam Mendidik Anak


Beberapa Kesalahan Fatal dalam Mendidik Anak

Proses mendidik anak bukanlah proses yang mudah dan serampangan. Ia adalah “mega proyek” dalam suatu rumah tangga. Dibutuhkan ekstra kesabaran beserta segudang cara pandang psikologis yang dibangun diatas dasar merealisasikan kepentingan anak, pengembangan daya nalar, perluasan wawasan serta pencegahan dari pengaruh-pengaruh negatif.

Di zaman sekarang banyak sekali para orang tua menyerahkan pendidikan anaknya pada tradisi-tradisi yang salah dan turun-temurun. Begitu juga budaya asing yang tabu dan rancu. Dari sinilah muncul berbagai penyimpangan anak yang harus di tanggung oleh keluarga, masyarakat bahkan suatu bangsa itu sendiri. Diantara kesalahan-kesalahan fatal tersebut diantaranya:

1. Mengabaikan Pendidikan Agama.
Banyak sekali orang tua yang melalaikan pendidikan agama pada anak-anaknya. Mereka mengira pendidikan agama hanya menjadikan malas dan miskin. Padahal tidak cukup bagi orang tua hanya mengantarkan anaknya menjadi seorang doktor atau profesor. Apa artinya semua itu jika di akhirat harus menanggung siksa? Maka tak heran jika banyak para ilmuwan hari ini bodoh terhadap perkara agama yang seharusnya tak seorangpun bodoh darinya. Padahal mereka sangat lihai dalam masalah penghitungan rumus kimia dan fisika. Sampai pada kelas virus dan bakteri yang tak kasat mata mereka paham secara detail. Begitu juga dalam politik dan ekonomi mereka adalah para pakarnya. Namun sangat miris dan menyedihkan sekali ketika ditanya tentang rukun iman dan Islam. Masih banyak yang tidak paham menjawabnya. Apalagi masalah tauhid dan syirik, bid’ah dan sunnah serta hal-hal pokok dalam agama mereka. Banyak sekali kebodohan atasnya. Sungguh ini adalah musibah yang sangat besar bagi mereka. Keadaan mereka sebagaimana yang digambarkan Alloh   dalam al-Qur’an.

﴿ يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ اْلأَ خِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ ﴾
“Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akhirat adalah lalai.” (QS. ar-Rum [30]: 7)
Sepandai apapun orang di dunia tak ada gunanya jika ia bodoh akan agama. Dia tetap digolongkan sebagai orang yang jahil (bodoh) walaupun bergelar profesor atau doktor. Itu semua  dikarenakan mereka terdidik dari kecil jauh dari lingkungan agama.

2. Orang Tua Gemar Mendikte.
Kesalahan ini dilihat dari sikap orang tua yang selalu mendikte anaknya dalam segala aktivitasnya. Sang orang tua selalu menjegal pendapat anaknya dan menginginkan kepatuhan mutlak dari anaknya. Anak seolah hidup di kamp militer yang selalu diawasi gerak-geriknya. Sisi negatif dari model pendidikan ini diantaranya:

a. Lemahnya kepribadian dan tak ada rasa percaya diri pada anak.
b. Sang anak menjadi pribadi yang sangat tertutup dan pemalu sekali.
c. Sang anak akan kehilangan daya kreativitasnya.
d. Kerusakan yang muncul di waktu dewasa saat si anak telah merasa terbebas dari belenggu yang mengekangnya sehingga dia cenderung untuk lari dari segala bentuk aturan meskipun itu hal yang benar.
Pendidikan yang benar dan sehat adalah memberikan ruang kepada anak untuk berkreativitas dan berpendapat selama dalam koridor yang syar’i dengan pengawasan sewajarnya.

3. Menumbuhkan Rasa Takut dan Minder pada Anak.
Ketika anak menangis, terkadang orang tua menakut-nakuti dengan jin, hantu, suara-suara yang menakutkan atau hewan-hewan seperti ular dan kodok agar berhenti menangis.

Hal ini membuat anak tumbuh dalam rasa ketakutan. Takut keluar sendiri ke kamar mandi, takut akan bayangannya sendiri, dan takut untuk tidur sendiri karena sering mendengar cerita hantu. Pendidikan seperti ini akan mengotori akidah anak.

4. Membiasakan Anak Hidup Foya-Foya dan Selalu Memenuhi Semua Permintaannya.
Dengan pendidikan seperti ini, anak akan terbiasa dengan kemewahan dan pemborosan. Akhirnya hilanglah sikap zuhud dan qona’ah di dunia karena segala permintaannya selalu terpenuhi. Padahal tidak semua permintaanya berguna sesuai usia dan kebutuhannya. Muncullah dari model pendidikan seperti ini jiwa-jiwa pemalas dan selalu menggantungkan diri pada orang lain.

Suatu hari, Rosululloh   menasihati Ibnu ‘Umar   yang masih kecil dengan sabdanya:
(( كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ ))

“Jadilah engkau di dunia seakan-akan seperti orang asing atau orang yang dalam perjalanan.”  (HR. al-Bukhori)

Yaitu janganlah menjadikan dunia tempat tinggal akhir. Dan janganlah hatimu terpukau dengan gemerlapnya dunia yang sebenarnya fana. Namun, jadilah seperti orang asing atau musafir yang seolah lewat untuk mempersiapkan bekal dalam perjalanannya.

5. Meremehkan Kemungkaran.
Karena terlalu sayang pada anak, akhirnya orang tua segan menegur anaknya ketika melakukan kemungkaran dengan alasan mereka pasti akan meninggalkan kemungkaran tersebut kalau sudah dewasa. Pendapat seperti ini sangat tidak bisa dibenarkan karena jika anak terbiasa melakukan kebiasaan buruk waktu kecilnya, akan susah meninggalkannya ketika sudah dewasa.

Salah satu kemungkaran yang dianggap biasa adalah membiarkan anak menonton acara-acara tabu di televisi. Bahkan sebagian orang tua menyediakan TV khusus di ruang tidur tiap anaknya. Lebih parah lagi menyediakan fasilitas internet tanpa memfilter servernya. Akhirnya anakpun betah begadang di kamar bukan belajar namun menonton film atau membuka situs-situs vulgar yang membahayakan bagi dirinya.

Ibnul Qoyyim   menjelaskan, “Berapa banyak orang tua yang menyengsarakan anak-anaknya -buah hatinya sendiri- di dunia dan di akhirat dengan tidak memperhatikan mereka, tapi justru menolong mereka memuaskan nafsu mereka. Sang orang tua beranggapan bahwa ia sedang memuliakan anak-anaknya. Padahal justru membuat mereka hina. Ia merasa sedang menyayangi anak-anaknya, padahal justru menzholimi dan merampas hak mereka, sehingga justru ia kehilangan kesempatan mengambil manfaat dari anak-anaknya. Dengan demikian, si anak juga kehilangan apa yang menjadi haknya di dunia dan di akhirat. Kalau kita menelaah kerusakan anak-anak, akan kita dapatkan kebanyakan berpangkal dari orang tua.” (Tuhfatul Maudud)

Wahai orang tua tercinta . . . bukankah segala perilaku asusila anak–anak bersumber pada  itu semua?!

6. Bertengkar di Depan Anak.
Problematika rumah tangga tak lepas dari perbedaan pendapat. Terkadang pula karena himpitan ekonomi dan seruntun kebutuhan sehari-hari  membuat pasutri harus berkali-kali bertengkar. Ya, itulah bumbu penyedap orang berumah tangga. Tinggal kita mengaturnya saja. Namun usahakan selalu membawa suasana ini dingin dan mesra. Usahakan pula menjauhkan anak dari kondisi seperti ini.

Sebagian orang tua sering kali bertengkar di depan anak-anaknya, bahkan menampar wajah istrinya atau menjelek-jelekkan istrinya di hadapan anak-anaknya. Sungguh ini bukanlah akhlak mulia. Anak akan cenderung berlaku sadis; psikologinya terganggu, jiwanya tidak tenang dan terkadang serba salah harus berpihak kepada siapa. Bahkan, ia selalu berpikir jangan-jangan pertengkaran tersebut gara-gara dia. Sebab anak akan senantiasa merekam adegan tersebut dalam otaknya. Akhirnya anak sering keluar rumah tak tahu kemana demi mencari ketenangan, karena istananya seolah-olah bagai kapal pecah. 

 Jika pertengkaran harus terjadi di depan anak, maka orang tua harus menjelaskan kepada anak bahwa pertengkaran tersebut tidak mengurangi kemitraan atau kecintaan ayah dan ibu. Begitu juga dijelaskan bahwa begitulah bumbu rumah tangga karena rumah tanggga dibangun dari dua jiwa yang berbeda. Maka tak heran terkadang harus berbeda pula persepsi dan idenya.

7. Keteladanan yang Buruk dan Kontradiktif.
Pertama kali seorang belajar keteladanan adalah dari kedua orang tuanya. Orang tualah yang menoreh karakter keteladanannya. Jika orang tua memiliki pribadi mulia dan sholih, maka anakpun akan menyerap sifat-sifat positif itu. Sebaliknya jika orang tua berpribadi buruk, maka sifat tersebut akan menular pada anaknya karena buah jika jatuh pasti  tak jauh di bawah  atau di dekat pohonya.

Diantara contoh keteladanan yang buruk adalah menyuruh anak untuk menjawab telepon dan mengatakan bahwa ayahnya sedang berada di luar rumah padahal saat itu berada di depannya. Hal ini mendidik anak untuk berlaku tidak jujur dan suka bohong. Atau menyuruh anak tidak merokok padahal ia seorang perokok. Pasti hal ini akan menjadi asumsi kontradiktif di mata anak. Begitu juga seorang ibu  yang selalu berdandan seronok serta seksi ketika keluar rumah. Secara tidak langsung hal ini mengajari anak putrinya untuk tabarruj di luar rumah.

Keteladanan yang kontradiktif dan buruk tersebut menjadikan wibawa orang tua jatuh di mata anak. Nasihatnya pun seolah bagai angin lalu yang terbang keruh membawa debu. Bukankah Alloh   berfirman:

“Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kalian melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri, Padahal kamu membaca al-Kitab (Taurot)? Maka tidaklah kalian berpikir?” (QS. al-Baqoroh [2]: 44)8. Mengisolasi Anak dari Teman Bermainnya.

Sebagian orang tua terkadang menginginkan anaknya berprestasi di sekolah hingga akhirnya dikurung di rumah tanpa memberikan waktu untuk bermain. Setiap kali anaknya ingin bermain untuk hanya sekedar melepas penat selalu dimarahi seraya mengatakan: “Apakah kalian tidak mempunyai kegiatan lain?” Bahkan sebagian orang tua juga membeda–bedakan anak. Misalnya membisiki anak untuk tidak bermain dengan si fulan karena termasuk anak orang miskin atau anaknya tukang becak, penjual sayur atau pekerjaan yang dianggap remeh oleh orang tuanya. Mereka beranggapan bahwa tidak sepadan anak bos bergaul dengan anak kuli rendahan. Sungguh ini adalah sifat sombong yang melahirkan kesengsaraan pada diri dan anaknya di hari depan.

Berbeda dengan sifat rosululloh   yang selalu memberikan anak waktu yang proposional untuk bermain. Hal tersebut sebagaimana yang diceritakan Anas  :
“Suatu hari saya membantu rosululloh    hingga selesai. Rosululloh   istirahat sebentar di waktu siang (qoilulloh). Sedangkan saya keluar menuju anak-anak yang sedang bermain dan menyaksikan permainan mereka. Rosululloh   datang dan mengucapkan salam kepada anak-anak yang sedang bermain itu. Rosululloh   memanggil saya dan menyuruh saya untuk melakukan keperluan beliau  . Saya pergi dan rosululloh   masih duduk di sebuah naungan hingga saya mendatanginya.” (HR. Ahmad)

Dalam riwayat lain disebutkan:
“Suatu hari rosululloh   mendatangi saya yang sedang bermain bersama anak–anak. Beliau   mengucapkan salam kepada kami dan memanggil saya. Beliau   menyuruh saya untuk suatu keperluan. Setelah saya kembali, beliau   bersabda, “Jangan beritahu seseorang.” Saya terlambat pulang ke ibu saya. Ketika saya datang, Ibu bertanya, Wahai anakku, apa yang membuatmu terlambat?” Saya menjawab, “Rosululloh   menyuruh saya untuk suatu keperluan.” (HR. Ahmad)
Cerita di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa rosululloh   sangat memperhatikan dunia anak dan memenuhi keinginan jiwanya yaitu bermain. Rosululloh   tidak pernah mengisolasi anak dari teman bermainnya. Bahkan memberikan anak waktu luang untuk bermain melepas kejenuhan mereka.

Agar jauh dari sikap takabbur pada anak-anak, maka rosululloh   mengucapkan salam. Ini merupakan kecintaan dan penghargaan beliau   kepada mereka. Hal itu juga mengajarkan anak kecil agar terbiasa mengucap salam. 

Pelajaran berharga pula dari hadits tersebut hendaknya seorang ibu mencari tahu tentang keadaan anaknya jika terlambat pulang dari kebiasaannya. Begitu pula menanyakan kepada anaknya ia pergi kemana, apa saja yang ia lakukan dan hal hal apa yang membuat ia terlambat agar anak tidak liar sebagaimana kebanyakan anak pada zaman sekarang. Suka terlambat pulang sekolah gara-gara mejeng bersama pacar atau keluyuran gak jelas di mall-mall dan panggung hiburan. Wallohu musta’an.

9. Orang Tua Sering Mengeluh.
Terkadang permasalahan ekonomi yang menghimpit keluarga membuat kesabaran orang tua seolah habis. Terlebih jika keluarga banyak sekali tanggungan biaya ekonomi sementara gaji tidak pasti. Seringkali orang tua mengeluh dalam kondisi seperti ini. Tapi di sinilah sebenarnya kesabaran  keluarga ditempa dan diuji.

Mengeluh bukanlah sifat seorang Muslim yang baik karena mengeluh menghilangkan sifat kesabaran. Orang yang suka mengeluh ibarat racun bagi temannya karena sikap keluh kesahnya tidak lain menyebabkan semangat orang yang di sekitarnya memudar.

Terlebih sebagai orang tua, keluh kesah dia di hadapan anak-anaknya adalah racun yang merusak kesabarannya. Tidaklah orang tua berkeluh kesah di depan anaknya melainkan hanya menyemai bibit pesimis dalam mengarungi bahtera kehidupan. Orang tua yang suka mengeluh  sebenarnya secara tidak langsung ia mendidik anaknya untuk tidak bersabar. Memang hidup adalah pergulatan dan pertarungan. Terkadang terasa panas membara menyesak dada. Terkadang pula begitu dingin merasuk sukma. Namun seorang Muslim bukanlah seorang gladiator yang bertarung demi dunia. Dia adalah para jundulloh (tentara Alloh) yang hidup demi ridho-Nya. Dan setiap ujian apa saja yang Alloh   berikan pasti ada jalan keluarnya. Maka hendaknya para orang tua selalu mengingat hadits mulia dalam sabdanya  :

 )) عَجَبَا ِلأَمْرِ اْلمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلُهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءٌ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتُهُ ضَرَاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ((  
“Menakjubkan keadaan seorang mukmin itu. Sesungguhnya  segala urusannya adalah baik. Tidaklah ada yang demikian ini kecuali pada seorang mukmin. Jika ia ditimpa hal yang menyenangkan ia bersyukur, itu adalah baik baginya. Jika ditimpa suatu hal yang menyusahkan ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim) 

Itulah yang seharusnya dilazimi dan diajarkan orang tua pada anaknya, senantiasa bersabar dan bersyukur dalam segala hal. Tak ada dalam kamus hidup orang tua mukmin untuk mengeluh apalagi di depan para anaknya. Sabar memang pahit rasanya tapi sangat manis buahnya. Syukur juga sering luntur di jiwa namun makmur jika dilaziminya. Sikap sabar dan syukur adalah dua hiasan orang tua untuk mendidik putra-putrinya meraih kesuksesan dunia sebelum akhirat. Insya Alloh

10. Membiasakan Tradisi Jahiliyah.
Yang dimaksud jahiliyah adalah segala perbuatan atau amalan atau keyakinan yang bertentangan dengan Islam yang murni. Cakupan atau kategori jahiliyyah sangat luas. Bisa berupa syirik, bid’ah, kaba’ir (dosa-dosa besar), dan dosa–dosa kecil.

Salah satu kesalahan fatal orang tua dalam mendidik anaknya yaitu mendidik  anak dengan membiasakan tradisi-tradisi jahiliyah. Misalnya merayakan ulang tahun. Tradisi perayaan ulang tahun ini telah menjadi ritual tahunan bagi sebagian keluarga untuk anak–anaknya. Seolah menjadi hari sakral yang harus dirayakan dan diperingati setiap tahunnya. Seolah orang tua merasa berjasa ketika dapat menyelenggarakan acara tiup lilin dan bernyanyi ria untuk anaknya.

Dalam pandangan syariat acara ulang tahun tidak lepas dari dua hal : 
a) Dianggap sebagai ibadah perayaan.
Jika pelakunya menganggap acara ultah sebagai bentuk ibadah perayaan maka hal tersebut termasuk perkara bid’ah yang tidak dicontohkan. Dan setiap amalan ibadah yang tidak dicontohkan maka dia tertolak berdasarkan hadis ‘Aisyah  :
 ))مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ(( 
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama kami, yang tidak ada dasar daripadanya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Dalam hadits yang lain rosululloh   menjelaskan:

 ))وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ(( 
“Jauhilah perkara-perkara baru dalam agama, karena setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

b) Dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan

Pertama, menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelancangan terhadap Alloh   dan Rosul-Nya  , dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Alloh   dan rosul-Nya   tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.

Saat memasuki kota Madinah, nabi   mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshor sebagai waktu bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari 'Ied. Maka beliau   bersabda.

”Sesungguhnya Alloh telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu 'Idul Fitri dan 'Idul Adha.”

Kedua, adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Alloh  . Budaya ini bukan merupakan budaya kaum Muslimin, namun warisan dari non Muslim. Rosululloh   bersabda:

 ))مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ((
“Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. at-Tirmidzi)

Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhoan Alloh   dan ketaatan kepada-Nya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik pula amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya namun buruk amalannya.

Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : “Semoga Alloh memanjangkan umurmu” kecuali dengan keterangan “Dalam ketaatan-Nya” atau “Dalam kebaikan” atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Alloh   menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.

Alloh   berfirman:
“Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan.” (QS. Ali ‘Imron [3]: 178)
Bahkan  manusia yang paling mulia di dunia dan di akhirat, yaitu rosululloh   tidak pernah menyelenggarakan acara ulang tahun bagi putra putrinya. Begitu juga para sahabat yang diridhoi Alloh   tak pernah melakukannya. Seandainya hal tersebut baik tentunya akan dilakukan oleh mereka.

Tidak ada satupun hadits shohih yang memerintahkan acara ulang tahun sampai ulang tahun nabi   yang dikenal dengan “Maulid Nabi”. Hal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh beliau   sendiri. Jika seseorang mengadakan maulid nabi dengan dalih melakukan ibadah atau ketaatan, maka ini jelas tertolak berdasarkan firman Alloh  :

﴿ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ﴾
“Dan apa-apa yang diberikan Rosul kepada kalian maka ambillah. Dan apa-apa yang dilarang bagi kalian maka jauhilah.” (QS. al-Hasyr [59]: 7)

Karena telah jelas acara tersebut bukan dari perintah nabi  . Bahkan, acara tersebut merupakan perkara yang dilarang karena termasuk perbuatan baru dalam dien dan tasyabuh pada orang kafir. Wallohu A’lam.

Rosullulloh   pun senantiasa mengubah tradisi jahiliyyah dalam memperingati hari kelahiran anak. Dari ‘Abdulloh bin Buraidah  , ia berkata, “Saya mendengar ‘Abu Buraidah berkata, “Ketika kami di masa Jahiliyah, apabila ada salah seorang melahirkan seorang anak, maka disembelihkan seekor kambing dan darahnya dioleskan di kepalanya. Ketika Alloh menurunkan Islam, kami menyembelih kambing, mencukur rambutnya (bayi) dan mengoleskan kepalanya dengan minyak Za’faron”.” (HR. Abu Dawud)

Senada dengan itu hadits Yazid bin Abdulloh al-Muzani  , rosululloh   bersabda:
“Anak itu diakikahkan dan tidak diolesi darah di kepalanya.” (as-Silsilah ash-Shohihah no. 2425)

Perhatikan, wahai saudara dan saudariku para pendidik bahwa beliau   telah mengubah tradisi-tradisi jahiliyyah. Misalnya, ketika menyembelih, mereka mengoleskan kepala anak dengan darahnya. Begitulah yang dilakukan oleh orang-orang yang jahil ketika kelahiran anak. Khususnya pada hari ketujuh, mereka mengambil darah hewan aqiqah dan mengoleskan ke dinding dan pintu untuk mencegah kedengkian pada anak sesuai persangkaan mereka.

Mereka juga menaruh sejenis ukir-ukiran yang diharamkan di kopiahnya dan menaruh bulu ayam sehingga seperti ayam jantan. Dan masih banyak tradisi–tradisi jahiliyyah yang menyebar di masyarakat di kalangan orang tua. Seperti mengajari anak lagu-lagu cengeng, mendandaninya dengan pakaian ‘you can see’ dan model-model baju yang membahayakan kehormatannya.

 Sebagai orang tua Muslim yang baik hendaknya mencukupkan diri dari apa yang dicontohkan rosululloh   dalam hidupnya. Dan bukanlah membahagiakan anak hakiki itu dengan merayakan hari kelahirannya melainkan dengan mendidik dan mengantarkannya kepada Shirotolmustaqim yang membahagiakan hari depannya selamanya. 

11. Mendidik anak dengan kekerasan.
Diantara kesalahan dalam mendidik anak adalah orang tua menyikapi kesalahan anaknya dengan bahasa kekerasan. Mudah sekali orang tua melayangkan tangannya untuk memukul anaknya. Bahkan anak dijadikan pelampiasan saat api kemarahan membakar dadanya. Padahal kekerasan dalam mendidik anak adalah faktor yang menyebabkan anak durhaka.

 Ibnu Kholdun   yang merupakan pakar sosiologi dalam kitab Muqqodimah-nya menyebutkan untuk tidak menggunakan kekerasan dalam pendidikan anak. Beliau berkata, “Barangsiapa yang dididik dengan kekerasan, baik oleh guru, tuan, atau pembantu, maka ia akan terbiasa keras. Kekerasan akan selalu menyempitkan dadanya, menghilangkan semangatnya, membuatnya malas, mendorongnya berdusta, dan bersikap keji karena khawatir ada tangan yang akan melayang melakukan tindak kekerasan. Kekerasan akan mengajarkannya tipu daya dan makar sehingga menjadi kebiasaan perilakunya, yang merusak nilai–nilai kemanusiaan yang ada pada dirinya.”

Bentuk hukuman apapun tidak boleh menyentuh kehormatan anak, dan tidak menjadikan penghinaan bagi dirinya, seperti di pukul dihadapan orang, atau diumumkan bahwa ia seorang pencuri dan lainnya. Karena kepribadian seorang anak harus dijaga, dan kehormatannya harus dipelihara. Kesalahan yang sering terjadi pada seorang pendidik, bahwa hukuman dianggap sebagai jalan pintas. Mereka menyangka bahwa kekerasan pada putra dan putri mereka akan mendatangkan kebaikan yang mereka harapkan. Yang demikian itu karena kekurangsadaran mereka akan kenyataan yang menyakitkan. Kekerasan sering menjadi musibah yang melahirkan banyak problema sosial yang dirasakan oleh masyarakat. Ia menjadikan anak mati perasaannya, lemah kemauannya dan kurus badannya, anggota–anggota badannya labil dan harapannya hilang, juga semangat dan kemampuannya berkurang. Banyaknya pukulan tidak akan menambah apapun pada anak, kecuali kekerasan dan kebandelan.

Adapun sikap lemah lembut dan kasih sayang adalah modal utama dan kunci keberhasilan orang tua dalam mendidik anak. Inilah cara yang diajarkan Alloh   kepada rosululloh   dalam mendidik umatnya. Alloh   berfirman:

“Maka disebabkan rahmat dari Alloh-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imron [3]: 159)

Sikap lemah lembut dalam mendidik anak merupakan faktor yang sangat mendukung keberhasilan pendidikan anak. Orang tua selayaknya memahami bahwa anaknya bukanlah malaikat yang tidak pernah berbuat salah, dan bukan pula setan yang tidak memiliki sisi kebaikan. HALAMAN SELANJUTNYA : Kaidah yang Harus Diperhatikan dalam Memukul Anak

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.