SUMBER KESESATAN YANG PATUT DIWASPADAI, Apakah anda termasuk aliran sesat ?


Sesungguhnya Alloh   telah memancangkan satu jalan lurus bagi para hamba-Nya yaitu al-Islam. Inilah agama yang diturunkan Alloh   dan dibawa oleh seluruh Nabi dan Rosul-Nya. Hanya inilah satu-satunya jalan yang akan mengantarkan mereka kepada ridho Alloh   dan surga-Nya. Akan tetapi setan yang terlaknat telah bersumpah di hadapan Robb-nya untuk menyesatkan seluruh anak cucu Adam   kecuali sedikit di antara mereka yang tetap berpegang teguh kepada wahyu.

Setelah dikeluarkan dari surga dan dilaknat oleh Alloh  , iblis berikrar: 
“Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari arah muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”  (QS.  al-A’rof [7]: 16-17)

Iblislah yang telah merusak fithroh manusia dan menyesatkan anak cucu Adam  . Padahal fithroh tersebut asalnya baik dan mencintai kebenaran serta tauhid. Fithroh tersebut menyukai jalan yang haq dan membenci kebatilan serta syirik. Inilah fithroh yang telah ditanamkan Alloh   pada setiap anak cucu Adam  . Tentang ini Alloh   berfirman dalam sebuah hadits qudsi-Nya:

“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (cenderung kepada yang haq dan berpaling dari yang batil), semuanya demikian. Dan sesungguhnya para setan kemudian mendatangi mereka lalu menyesatkan mereka dari agama mereka yang haq. Para setan itu juga mengharamkan bagi mereka apa-apa yang Aku halalkan serta menyuruh mereka untuk menye-kutukan-Ku dengan sesuatu yang Aku tidak pernah menurunkan keterangan tentangnya.” (HR. Muslim)  

Oleh karena itu, alangkah pentingnya setiap Muslim mengetahui dan mengenal jalan-jalan kesesatan dalam rangka mewaspadai dan menghindarinya.
Urgensi Mengetahui Jalan-Jalan Kesesatan

Alloh    berfirman:
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur’an (supaya jelas jalan orang-orang yang sholih), dan supaya jelas pula jalan orang-orang yang berdosa.” (QS.  al-An’am [6]: 55)

As-Sa’di   berkata tentang ayat di atas dalam tafsir-nya, “Alloh   menjelaskan dalam kitab-Nya tentang jalan orang-orang yang berdosa. Karena, apabila jalan orang-orang yang berdosa itu jelas dan gamblang, maka memungkinkan untuk dijauhi dan dihindari. Berbeda halnya jika ia tersamar dan terselubung, niscaya tujuan yang penting ini tak akan tercapai.”

Perkaranya sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:
عَرَفْتُ الشَرَّ لاَ لِلشَّرِ لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ ...
 وَمَنْ لاَ يَعْرِفُ الشَّرَّ مِنَ النَّاسِ يَقَعُ فِيْهِ
“Aku mengenal keburukan bukan untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menghindarinya.... 

Barangsiapa yang tidak mengenal keburukan niscaya akan terjatuh ke dalamnya.” 
Khalifah ‛Umar bin al-Khoththob    yang dijuluki sebagai al-Faruq pernah berkata:

“Sesungguhnya simpul-simpul Islam hanya akan terurai (terlepas) seikat demi seikat jika tumbuh dalam Islam siapa yang tidak mengenal jahiliyah.”
Sumber Kesesatan

Kita telah mengenal dari buku-buku kecil pada paket manhaj ini tentang bagaimana cara mengetahui kebenaran dan apa saja sumber-sumbernya. Kita telah sampai pada suatu kesimpulan bahwa kebenaran atau al-Haq itu adalah apa yang diwahyukan Alloh   kepada Rosul-Nya   berupa al-Qur’an dan as-Sunnah yang dipahami dengan cara pemahaman para salafush sholih. 

Setelah mengetahui itu, tidak kalah pentingnya pula kita merambah belantara kesesatan untuk mengetahui secara jelas sumber-sumber kebatilan dan mata air kesengsaraan agar kita tidak terkecoh dengannya dan tidak mereguk airnya.
Di antara sumber-sumber kesesatan tersebut adalah:

1. Kasyaf dan Ilham
Yang dimaksud dengan kasyaf ialah tersingkapnya tabir ghoib yang menghalangi manusia dari melihat sesuatu sebagaimana hakikatnya. Dengan tersingkapnya kasyaf, seseorang di klaim akan bisa melihat kebenaran dengan gamblang dan jelas.

Sebagian penganut tasawuf yang ekstrim mengklaim bahwa pintu kasyaf terbuka bagi para wali sehingga mereka bisa melihat kebenaran dengan terang benderang. Bahkan kebenaran yang tampak bagi para wali tersebut lebih tinggi tingkatannya daripada apa yang tampak bagi para ulama syari’ah. Yang mereka maksud dengan ulama syari’ah adalah para ulama yang mengambil ilmunya lewat belajar, membaca dan menghapal. 

Sebagian tokoh tasawuf berkata, “Para Nabi dan wali bisa meraih kasyaf, dan dalam hati mereka bersinar cahaya kebenaran. Hal tersebut mereka peroleh bukan dengan belajar, menulis dan mengkaji. Akan tetapi dengan zuhud terhadap dunia dan berlepas diri dari semua yang terkait dengan dunia. Juga dengan mengo-songkan hati dari pikiran-pikiran dunia. Setelah itu, dengan ber-kholwat (bersunyi) di sebuah zawiyah (tempat yang khusus untuk berkholwat) sambil terus menerus berdzikir menyebut Alloh, Alloh, Alloh...  disertai dengan hati yang hadir dan pikiran yang dipusatkan, hingga sampai pada keadaan ia membiarkan lidahnya berjalan sendiri seolah-olah kalimat itu mengalir pada lidahnya. Dan ketika itu, ia tidak memiliki pilihan dalam meng-hadirkan rahmat Alloh, kondisinya ketika itu sedang menanti untuk mendapatkan nafahat (sentuhan rahmat) dari Alloh  . Maka ia tinggal menunggu apa yang akan dibukakan Alloh untuknya dari limpahan rahmat-Nya sebagaimana yang Dia bukakan kepada para Nabi dan wali-Nya dengan jalan ini.”

Pada tempat yang lain ia berkata, “Ber-kholwat itu harus di sebuah rumah yang gelap. Kalau tidak ada tempat yang gelap, maka hendaklah ia menutupi kepalanya dengan jubahnya atau menyelimuti wajahnya dengan mantelnya. Maka dalam keadaan seperti ini ia akan mendengar seruan al-Haq dan akan menyaksikan kea-gungan hadhroh nabawiyyah (Nabi yang mulia).”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah   pernah membantah Imam al-Ghozali yang mengklaim bahwa mizan (standar) untuk menerima dalil-dalil sam’iyat (wahyu) adalah kesesuaian dalil-dalil tersebut dengan kasyaf dan musya-hadah (penyaksian secara langsung). Syaikhul Islam berkata, “Perkataan ini maknanya ialah, apa yang telah dikabarkan oleh Rosul   berupa perkara-perkara ilmu tidak diambil manfaat darinya. Akan tetapi itu semua bisa diketahui oleh setiap manusia dengan apa yang telah diperolehnya dari musyahadah, cahaya dan mukasyafah (kasyaf). Dua perkara ini adalah asal-usul ilhad (penyimpangan yang sangat nyeleneh). Karena, setiap orang yang memperoleh kasyaf, jika tidak menimbangnya dengan al-Qur’an dan as-Sunnah niscaya akan terperosok ke dalam kesesatan-kesesatan.”

Dalam kitab Majmu’ Fatawa, beliau   juga berkata:

“Siapapun yang termasuk dalam ahli ilham, bisikan dan kasyaf, tidak akan lebih afdhol daripada ‘Umar bin al-Khoththob  . Maka mereka semua harus menempuh seperti apa yang ditempuh oleh Umar   dalam berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah dengan mengikuti apa yang dibawa oleh Rosul  , bukan menjadikan apa yang dibawa Rosul   mengikuti apa yang datang kepadanya (berupa ilham atau kasyaf).”

Kenapa tidak ada ahli kasyaf yang lebih afdhol dari-pada ‘Umar  ? Karena Rosululloh   telah bersabda: 
(( إِنَّهُ قَدْ كَانَ فِيمَا مَضَى قَبْلَكُمْ مِنَ اْلأُمَمِ مُحَدَّثُونَ، وَإِنَّهُ إِنْ كَانَ فِي أُمَّتِي هَذِهِ مِنْهُمْ فَإِنَّهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ))
“Sesungguhnya pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang mendapat ilham. Kalau pada umatku ini ada orang yang seperti mereka, tentulah ia ‘Umar bin al-Khoththob  .” (HR. al-Bukhori dan Muslim)

Sebagai contoh kasyaf yang diklaim oleh sebagian ahli tasawuf adalah apa yang dikatakan oleh seorang tokoh Shufi, al-Jiili. Ia berkata dalam kitabnya, al-Insan al-Kamil, bahwa telah dibukakan baginya tabir sehingga ia bisa melihat alam bagian bawah dan atasnya, ia bisa melihat para malaikat seluruhnya, dan ia dipindah-pindah dari satu langit ke langit yang lainnya. Ia berkata: “Pada masyhad (maqom) ini berkumpullah para Nabi dan wali, aku berdiri di tempat itu, maka aku melihat semua para Rosul dan Nabi, para wali dan malaikat yang tinggi dan malaikat muqarrabin (yang dekat dengan Alloh) juga malaikat taskhir (yang bertugas mengatur alam), dan telah dibukakan bagiku hakekat yang sangat banyak dari sejak zaman ‘azali hingga akhir zaman.”

Pernyataan tersebut mengandung kebohongan dan kebatilan yang besar. Sebab, itu artinya telah dibukakan baginya perkara-perkara ghoib yang belum pernah diraih oleh manusia-manusia terbaik setelah para Nabi, yaitu para sahabat Rosululloh  .

2. Mimpi
Walaupun memang ada mimpi yang benar dan ber-makna (ru’ya shodiqoh), akan tetapi mimpi tetap tidak bisa dijadikan sebagai sumber dalil atau hujjah dalam beragama.
Sebagian orang-orang yang tidak mengenal aqidah dengan benar menjadikan mimpi sebagai dalil dan lan-dasan hukum. Mereka mengira bahwa mimpi itu adalah petunjuk yang datang dari Alloh  . 

Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu seorang laki-laki Kuwait yang menganut paham Syi’ah dihadapkan ke meja pengadilan (mahkamah) Kuwait. Ia diadili bukan karena pahamnya yang Syi’ah, akan tetapi karena telah membunuh istrinya sendiri dan kedua anak perempuan-nya dengan sengaja. Anehnya, laki-laki itu tetap teguh dengan pendiriannya bahwa ia sama sekali tidak bersalah ketika membunuh semua anggota keluarganya itu. Kenapa demikian? Dengan mantap ia menjelaskan, “Saya mela-kukan itu atas perintah sang Imam!”. Para hakim merasa heran. Kemudian ia menjelaskan bahwa semalam ia bermimpi bertemu dengan Imam Mahdi, Imam Syi’ah yang kedua belas, kemudian Sang Imam tersebut meme-rintahkannya untuk membunuh istri dan semua anak-anaknya. Maka tanpa ragu sedikitpun ia segera melak-sanakan “pesan suci” yang ia terima lewat mimpi tersebut. Peristiwa ini benar-benar terjadi dan diberitakan oleh media massa.

Ini adalah sekelumit dari dampak buruk menjadikan mimpi sebagai sumber hukum atau hujjah. Sebenarnya, setanlah yang menyuruh laki-laki itu untuk membunuh istri dan anak-anaknya. Sungguh Maha benar Alloh   yang berfirman:

“Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka sendiri untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agama-Nya.” (QS.  al-An’am [6]: 137) 

Di negeri kita, beberapa tahun yang lalu juga terjadi suatu peristiwa yang cukup menggemparkan. Seorang menteri agama yang bertitel Doktor dan alumni sebuah perguruan tinggi di Timur Tengah memerintahkan untuk dilakukan penggalian di suatu daerah di kawasan Batu Tulis, Bogor. Ia mengeluarkan perintah tersebut setelah bermimpi dalam tidurnya bahwa di daerah tersebut terpendam suatu harta pusaka. Setelah dilakukan peng-galian yang cukup luas dan dalam, ternyata harta karun yang dijanjikan dalam mimpinya itu tak kunjung didapati juga. Akhirnya penggalian itu pun dihentikan.

Kalau saja peristiwa ini dialami oleh seorang petani yang awam mungkin banyak orang yang bisa memak-luminya. Akan tetapi peristiwa ini terjadi pada seorang tokoh intelektual Islam yang sekaligus menteri. Ternyata, setan tidak hanya mampu menggelincirkan orang-orang yang awam saja. Para Doktor dan Profesor pun -jika tidak berpegang teguh dengan manhaj yang benar- bisa saja disesatkannya. Semoga Alloh   melindungi kita semua dari tipu daya setan yang terkutuk.

“Dan katakanlah: “Wahai Robbku aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada-Mu wahai Robbku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (QS. al-Mu’minun [23]: 97-98)

3. Taklid Buta
Yang dimaksud dengan taklid ialah mengikuti per-kataan seseorang tanpa ada hujjah (argumen syar’i)nya. Juga berarti mengikuti perkataan orang lain tanpa me-ngetahui dalilnya.

Islam sangat mencela sikap taklid ini, bahkan inilah salah satu penghalang utama seseorang mengikuti kebe-naran dan tetap bersikukuh dalam kebatilan. Karena taklid kepada ajaran leluhur, maka orang-orang sebelum kita menolak dakwah tauhid yang diserukan oleh para Rosul. 

Alloh    berfirman:
“Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya Kami men-dapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. (Rosul itu) berkata: “Apakah (kalian akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untuk kalian (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kalian dapati bapak-bapak kalian menganutnya?”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kalian diutus untuk menyampaikannya.” (QS.  az-Zukhruf [43]: 23-24)

Sikap taklid buta juga merupakan tradisi orang-orang Nashrani yang membuat mereka tersesat dari jalan Alloh   yang lurus. Alloh   berfirman tentang mereka:
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Alloh dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Alloh dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. at-Taubah [9]: 31) 

Terdapat penjelasan dari hadits Rosululloh    tentang tafsir ayat ini. Adi bin Hatim    (yang ketika itu masih beragama Nashrani) berkata:

“Aku mendatangi Rosululloh    sementara pada leherku terdapat sebuah salib dari emas. Lalu aku mendengar beliau membaca sebuah ayat dalam surat Baro’ah ini “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Alloh dan (juga mereka mem-pertuhankan) al-Masih putera Maryam, maka aku pun berkata, “Wahai Rosululloh, kami dahulu tidak pernah menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan kami.” Rosululloh   bersabda, “Ya, bukan-kah jika mereka menghalalkan kepada kalian apa yang diharamkan Alloh atas kalian, maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka mengha-ramkan apa yang dihalalkan atas kalian, maka kalian juga mengharamkannya?”. Adi    berkata, “Ya.”. Rosululloh   bersabda, “ltulah bentuk peribadatan kepada mereka.” (HR. al-Baihaqi dan at-Tirmidzi; dihasankan al-Albani)

Taklid dan fanatik buta terhadap pemikiran seorang tokoh akan memisahkan antara seorang Muslim dari dalil dan al-haq. Inilah keadaan orang-orang yang fanatik buta pada zaman kita sekarang ini, mayoritas mereka terdiri dari pengikut sebagian madzhab-madzhab, tarekat sufiyyah dan quburiyyun (para pengkeramat kuburan), yang apabila mereka diseru untuk mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah, mereka menolaknya. Dan mereka juga menolak apa-apa yang menyelisihi pendapat mereka. Mereka berhujjah dengan madzhab-madzhab, perkataan para syaikh dan kiyai mereka. Ini adalah pintu dari sekian banyak pintu-pintu masuknya bid’ah ke dalam agama Islam ini.

Ini bukan berarti kita melarang kaum Mulimin yang awam untuk mengikuti salah satu madzhab dari madzhab yang empat. Karena, keempat madzhab tersebut adalah hasil ijtihad para imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kita mengakui dengan penuh kerendahan hati bahwa ilmu mereka jauh di atas kita. Pendapat mereka jauh lebih baik daripada pendapat kita. Akan tetapi, imam manapun yang kita jadikan panutan, ia tidaklah ma’shum (terbebas) dari kesalahan. Oleh karena itu, apabila pendapat imam tersebut menyelisihi dalil yang shohih, maka kita tinggalkan pendapatnya dengan tanpa mengurangi rasa hormat kita kepadanya.

4. Kebodohan (al-Jahl) tentang agama
Setiap kali zaman berjalan dan manusia bertambah jauh dari ilmu yang haq, maka semakin sedikit ilmu dan tersebarlah kebodohan. Tidak ada yang mampu untuk menentang dan melawan bi’dah kecuali ilmu dan ulama. Apabila ilmu dan ulama telah tiada karena wafatnya mereka, maka bi’dah akan mendapat tempat dan berpe-luang besar untuk muncul dan berjaya serta tokoh-tokoh bid’ah akan bertebaran menyeret umat manusia ke jalan sesat. 

Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami   berkata: 
“Kebodohanlah yang menjadi sebab kesesatan makhluk seluruhnya.
Juga sebab semua kesengsaraan dan kezhaliman mereka.

Sedangkan ilmu itu sebab petunjuk mereka bersama kebahagiaan mereka.
Maka tiada kesesatan dan kesengsaraan bagi orang yang berilmu.”

Alangkah tepatnya apa yang dikatakan oleh Hafizh al-Hakami   tersebut. Barangsiapa yang merenungi sebab kesesatan kaum Nashrani, Majusi, dan millah-millah yang lainnya niscaya akan mendapati bahwa pangkal kesesatan mereka semua bermula dari kebodohan mereka. Yakni, kebodohan tentang Ilah (sesembahan) yang haq, tentang Rosul-Nya dan agama-Nya. Alangkah benarnya ungkapan di atas, “Kebodohan adalah sebab kesesatan makhluk secara keseluruhan.”

Demikian pula penyebab sesatnya berbagai macam firqoh-firqoh dhollah (kelompok-kelompok yang  sesat) adalah karena kebodohan mereka tentang cara beragama yang benar. Sebagai contoh adalah firqoh Khowarij, sebuah firqoh menyimpang yang muncul pada masa Kholifah ‘Ali bin Abi Tholib   . Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan    berkata: “Yang demikian itu di-sebabkan kebodohan mereka tentang agama Islam mes-kipun disertai dengan sifat wara’, ibadah dan kesungguhan mereka. Namun tatkala semua itu tidak berdasarkan ilmu yang benar akhirnya menjadi bencana bagi mereka.” Di samping itu mereka juga enggan untuk mengambil pemahaman para shahabat dalam memahami masalah-masalah agama ini sehingga terjerumuslah mereka ke dalam kesesatan.

Kesimpulannya, jika pemahaman yang benar tidak terwujud, yang ada ialah kebodohan, maka tidaklah bermanfaat ketika itu kesungguhan dalam beribadah, sifat wara’ dan hati-hati dari dosa, zuhud, dan semua sifat-sifat mulia lainnya.
Kesesatan yang hampir sama juga menimpa banyak kalangan dari penganut thoriqoh shufiyah. Mereka tekun beribadah, zuhud, mencintai kebaikan, tawadhu’ dan menghindari berbagai macam perkara maksiat, akan tetapi ibadah dan aqidah mereka tidak dilandasi oleh ilmu yang benar. Kelompok-kelompok yang semacam itu bisa termasuk dalam apa yang dimaksud oleh firman Alloh  :
“Katakanlah: “Maukah kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS.  al-Kahfi [18]: 103-104)

5. Akal
Dalam syari’at Islam akal adalah sandaran taklif (ter-kenanya seseorang dengan kewajiban-kewajiban), dan yang dimaksud dengan akal di sini adalah kemampuan berfikir dengan sehat dan normal serta tidak terganggunya kesadaran seseorang. Dalam salah satu haditsnya Rosu-lulloh   bersabda:

(( رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبَرَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ ))
“Pena itu terangkat dari tiga golongan: dari orang yang sedang tertidur hingga ia terbangun, dari anak kecil hingga ia dewasa atau baligh, dan dari orang yang gila hingga ia sadar atau waras.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah   menegaskan dalam kitabnya, Dar’u Ta’arudh al-’Aqli wa an-Naqli, bahwa akal sehat yang bebas dari pengaruh hawa nafsu dan syubhat tidak akan bertentangan dengan dalil-dalil naqli yang shohih dalam keadaan bagaimanapun. Dan syara’ tidak datang untuk membawa sesuatu yang ditolak oleh akal, walaupun terkadang syara’ datang membawa sesuatu yang tidak dipahami oleh akal. Demikian itu disebabkan karena pencipta akal adalah Alloh dan yang menurunkan wahyu adalah Alloh juga dan Dia telah menjadikan akal sesuai dengan wahyu.

Perumpamaan yang sangat bagus dalam kedudukan akal dengan wahyu adalah sesungguhnya akal ibarat mata dan wahyu ibarat cahaya. Jika tidak ada cahaya, maka mata tidak akan bisa melihat apapun selamanya, sehingga di saat itu mata tidak berguna sama sekali. Begitu juga jika tidak ada mata, maka cahaya tidak dapat digunakan sama sekali.

Sudah barang tentu walaupun peranan akal sangat penting, tetapi peranan dan kemampuannya sangat terbatas. Ketika akal diberi peranan lebih dari batas untuk memahami dan mentadabburi nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, bahkan dibebaskan untuk membuat bentuk-bentuk yang menyaingi wahyu, maka sesatlah akal ter-sebut.

Tentang keterbatasan akal ini, Imam asy-Syafi’i   pernah berkata:
( إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ )
“Sesungguhnya akal itu memiliki batas akhir seperti penglihatan yang juga memiliki batas akhir.”

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak pernah mengingkari orang yang berpegang dengan akal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi mereka meng-ingkari sikap mendahulukan akal daripada nash-nash wahyu, mempergunakannya bukan pada tempatnya, yaitu hal-hal yang hakekatnya hanya diketahui oleh Alloh   semata. 

Firqoh (golongan) yang pertama kali menjadikan akal sebagai sumber ilmu adalah Jahmiyah, kemudian nampak lebih jelas bentuknya pada kaum Mu’tazilah. Sikap mereka menjadikan akal sebagai sumber pengambilan ilmu itu disebabkan oleh dua hal:

a. Diterjemahkannya kitab-kitab Yunani pada masa pemerintahan Kholifah al-Ma’mun dan pada masa-masa setelahnya yang mengkultuskan akal dan meng-agung-agungkannya.

b. Munculnya ilmu kalam, yaitu pada saat munculnya firqoh-firqoh, ketika sebagian dari kaum Muslimin membantah dengan metode musuh itu sendiri. Dengan berlangsungnya perbantahan itu muncullah apa yang disebut dengan ilmu kalam. Dari sinilah akal menjadi sumber pengambilan ilmu yang terpercaya pada seba-gian kelompok. Adapun dalil syar’i terkadang dipakai untuk menguatkan, bukan sebagai sandaran.

Padahal akal manusia semata betapapun hebatnya tidak akan mampu mengetahui hakikat zat atau bentuk sesuatu yang ghaib tanpa informasi yang shohih dari wahyu yang pasti kebenarannya.

Hal ini karena akal manusia tidak akan dapat meng-analisa, merangkai, atau mengkhayalkan sesuatu kecuali bila bahan-bahannya sudah ada dalam memori otaknya. Sedangkan bahan-bahan itu tidak akan ada dalam memori kecuali melalui interaksi panca indra kita dengan alam nyata. Padahal alam ghoib tidak pernah “diakses” oleh panca indra sama sekali. Sebagai contoh: kita tidak mungkin meminta orang yang buta sejak lahir untuk mengkhayalkan warna biru, dan kalau ia memaksakan diri mengkhayalkannya pastilah khayalannya itu keliru, karena ia sama sekali tidak pernah melihat warna apapun sehingga tidak ada bahan dasar untuk mengkhayalkannya. Orang yang tuli sejak lahir tidak akan mampu mengana-lisa atau mengkhayalkan suara burung tertentu karena ia tidak pernah mendengar apapun sehingga tidak ada bahan-bahan untuk menganalisa atau mengkhayalkannya.

Begitulah kita melihat kesesatan aqidah muncul akibat akal yang dijadikan hakim penentu keimanan kepada yang ghoib tanpa mau melihat dan mengikuti petunjuk wahyu yang dibawa oleh para Rosul  ..
6. Kaidah-Kaidah Filsafat
Tidak jauh berbeda dengan akal yang diagung-agung-kan, filsafat pun menjadi salah satu sumber kesesatan. Di antara musibah terbesar yang menimpa kaum Muslimin adalah tersebarnya kaidah-kaidah filsafat yang sangat dipengaruhi oleh ilmu manthiq dan logika (cara berpikir) orang-orang Yunani. Ketika Islam datang, Alloh   mencukupkan kaum Muslimin dengan Islam ini, sehingga tidak membutuhkan semua ilmu yang berbicara tentang kebenaran dan hakikat.  Namun kenyataannya, kita dapati para ahli Kalam berpaling dari ilmu yang diturun-kan Alloh  , mereka lebih menyukai bermain dengan logika dibandingkan mengimani nash-nash yang telah jelas dari al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka memahami Islam tidak dari sumbernya, namun melalui ilmu manthiq dan filsafat. 

Padahal Rosululloh   dan para Sahabat   yang jelas-jelas memperjuangkan Islam dan paling tahu tentang Islam tidak pernah menggunakan filsafat sebagai sarana untuk memahami Islam. Bahkan, Rosululloh   dengan tegas melarang kaum Muslimin menelaah dan mengikuti ajaran di luar Islam. Suatu ketika Rosululloh   melihat Umar   memegang lembaran-lembaran dari kitab Taurot, maka beliau besabda: 

“Apakah kamu masih kebingungan juga wahai putra al-Khoththob? Demi Alloh yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh aku telah membawa agama yang putih lagi bersih. Janganlah engkau bertanya kepada mereka tentang sesuatu karena boleh jadi mereka mengabarkan kepadamu dengan sesuatu yang benar lalu engkau mendustakannya. Atau boleh jadi mereka mengabarkan sesuatu yang batil lalu engkau membenarkannya. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya Musa   masih hidup maka tidak bisa tidak, pasti ia akan mengikutiku.” (HR. Ahmad dihasankan al-Albani)

Demikian pula para Sahabat  , mereka begitu tegas memperingatkan umat dari menelaah ajaran-ajaran dan pemikiran di luar Islam. Ketika kerajaan Persia berhasil ditaklukkan, kaum Muslimin mendapatkan kitab-kitab yang sangat banyak sekali, sehingga panglima perang kaum Muslimin yaitu Sa’ad bin Abi Waqqosh   menulis surat kepada Kholifah ‘Umar bin al-Khoththob   meminta izin untuk memindahkan kitab-kitab tersebut kepada kaum Muslimin, kemudian ‘Umar menulis surat balasan yang isinya agar kitab-kitab tersebut dibuang ke sungai. ‘Umar   berkata, “Seandainya di dalamnya ada petunjuk, maka kita telah diberi petunjuk oleh Alloh   yang lebih baik darinya, dan jika di dalamnya ada kesesatan, maka Alloh secara tidak langsung telah menjauhkannya dari kita.” 

7. Hawa Nafsu yang Diikuti 
Yaitu menjadikan hawa nafsu atau kecenderungan jiwa sebagai penafsir nash-nash dengan menyeret atau membawa dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah untuk mendukungnya, dalil-dalil tersebut dihukumi dengan hawa nafsunya. Ini adalah salah satu penyebab kesesatan yang sangat berbahaya.
Alloh   berfirman tentang orang-orang yang men-jadikan hawa nafsunya sebagai standar kebenaran:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang men-jadikan hawa nafsunya sebagai ilah-nya dan Alloh membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Alloh telah mengunci mati pendengaran dan hati-nya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Alloh (membiarkan sesat). Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?”  (QS. al-Jatsiyah [45]: 23)

Ada sebagian orang yang tersesat bukan karena ke-tidaktahuan mereka tentang kebenaran, tapi kesesatan mereka disebabkan karena mereka lari dari kebenaran yang sudah mereka ketahui demi memenuhi keinginan hawa nafsu. Ketika seseorang sudah lari dari kebenaran, maka ia akan berusaha menganut paham kebatilan untuk menggantikan kebenaran yang ia hindari dan terus menerus berupaya keras membuat dirinya dan orang lain menerima kebatilan itu hingga akhirnya dianggap sebagai kebaikan. 

Ia melakukan hal ini karena aqidah yang lurus itu akan menghalangi dirinya untuk mengikuti hawa nafsu, maka ia berusaha menggantinya dengan pemikiran dan aqidah yang sesat agar tidak terjadi kontradiksi atau perang batin antara hawa nafsu dengan prinsip hidupnya. 

Sehingga hawa nafsu yang ditunggangi oleh setan itu menghiasi perbuatan buruknya agar terlihat baik, dengan mencari-cari alasan pembenaran meskipun amat jauh, sampai keburukan itu betul-betul diterima sepenuhnya oleh jiwa dan tanpa memikirkan argumentasi lagi. Ma-nusia yang sampai pada kondisi jiwa seperti ini benar-benar terjatuh kepada mentalitas dan derajat terendah - semoga Alloh   melindungi kita darinya-. Alloh   telah membuat perumpamaan mereka itu bagaikan anjing. 

Alloh    berfirman:  
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat 

Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu diapun diikuti oleh setan (sampai ia tergoda), maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, niscaya akan Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi ia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya maka diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiar-kannya, ia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendus-takan ayat-ayat Kami, maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”  (QS. al-A’rof [7]: 175-176)

8. Sikap Ghuluw (Berlebih-Lebihan) dalam Agama
Islam adalah jalan lurus yang telah digariskan oleh Alloh   dan Rosul-Nya  . Tidak ada hak bagi manusia untuk menambah ataupun menguranginya. Sikap me-nambah atau mengurangi apa yang telah disyari’atkan Alloh   dan Rosul-Nya tidak lain adalah bisikan setan untuk menyesatkan manusia dari jalan yang lurus ter-sebut.

Sepanjang sejarah kaum Muslimin, sikap ghuluw atau berlebih-lebihan dalam menerapkan agama selalu me-munculkan kesesatan-kesesatan. 

Sebagai contoh adalah firqoh Khawarij, Murji’ah dan Syi’ah. Adapun Khowarij, mereka ghuluw dalam mema-hami ayat-ayat wa’id (peringatan dan ancaman). Mereka berpaling dari ayat-ayat roja’ (pengharapan), janji peng-ampunan dan taubat. Dengan sikap ghuluw tersebut mereka mengkafirkan para pelaku dosa besar selain syirik. Sebaliknya, Murji’ah bersikap ghuluw dalam memegang ayat-ayat yang berisi wa’ad (kabar gembira) dan berpaling dari ayat-ayat wa’id (ancaman). Akibatnya mereka menganggap remeh dosa-dosa besar dan meng-anggap bahwa para pelaku dosa besar itu adalah orang mukmin yang sejati dan bahwa dosa-dosa besar tidaklah membahayakan keimanan.

Adapun Syi’ah mereka ghuluw dalam mencintai dan menyanjung ahlul bait (keluarga Nabi  ) sehingga sampai pada derajat menuhankan mereka. 

Demikian pula halnya para penganut paham sufi yang ekstrim (Shufiyah). Mereka ghuluw dalam menyanjung Rosululloh  . Sebagian mereka meyakini bahwa Rosu-lulloh   memiliki beberapa sifat ketuhanan (rububiyyah) sehingga berhak diminta pertolongannya untuk menyem-buhkan orang yang sakit, melimpahkan keberkahan dan sebagainya. Dan inilah yang ditegaskan sendiri oleh para pujangga dan penyair mereka. 

Al-Bushiri berkata di dalam syairnya yang terkenal, al-Burdah, ketika menyanjung Rosululloh  : “Sesungguh-nya di antara kedermawananmu adalah dunia dan akhirat.

Dan di antara ilmumu adalah ilmu tentang Lauhul Mah-fudh dan al-Qolam (yaitu ilmu tentang segala takdir di alam semesta ini).”

Yusuf an-Nabhani menukil perkataan Syamsuddin at-Tuwaji al-Mishri yang menyifati Rosululloh  : “Wahai utusan Alloh, sesungguhnya aku ini lemah, maka sem-buhkanlah aku karena sesungguhnya engkau adalah pangkal kesembuhan. Wahai utusan Alloh, bila engkau tidak menolongku, maka pada siapa lagi menurutmu aku akan bersandar.” (Syawaahidul Haq hal. 352)

Betapa jauhnya penyimpangan mereka dari aqidah yang benar, padahal Alloh   telah berfirman:

“Katakanlah (wahai Muhammad): “Aku tidaklah memiliki manfaat atau dapat mencegah bahaya dari diriku sendiri kecuali yang Alloh kehendaki. Kalau seandainya aku mengetahui yang ghoib, maka tentunya aku dapat memperbanyak ke-baikan untukku dan tidak ada satupun bahaya yang menimpaku. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (QS. al-A’rof [7]: 188)

9. Klaim Bertemu Rosululloh   dalam Keadaan Sadar
Keyakinan ini mereka ambil berdasarkan hikayat-hikayat dusta yang berasal dari tokoh-tokoh tarekat Shufiyah. Sebagai contoh, asy-Sya’rani menyatakan bahwa Abul Mawaahib asy-Syadzali berkata: “Aku  pernah melihat Rosululloh   lalu beliau berkatakepadaku ten-tang diri beliau, ‘Aku sebenarnya tidaklah mati. Kema-tianku (sekarang ini) hanyalah sebagai persembunyianku dari orang-orang yang tidak mengerti tentang Alloh  . ’Maka akupun melihat beliau dan beliaupun melihat aku.” (Thobaqotul Kubro 2/69 karya asy-Sya’rani).

Bahkan dengan tegas Abul Mawaahib membawakan sabda Nabi   dengan dusta bahwa barangsiapa yang tidak percaya dengan pertemuan dirinya dengan beliau, kemudian ia mati, maka ia mati dalam keadaan sebagai seorang Yahudi, Nashrani atau Majusi. (Thobaqotul Kubro 2/67)

Sebagian murid Khaujili bin Abdirrahman (seorang tokoh Sufi zamanini) menceritakan bahwa gurunya ini pernah melihat Rosululloh   sebanyak 24 kali dalam sehari sedangkan ia dalam keadaan sadar. (Thobaqot Ibni Dhoifillah hlm. 190)

Hikayat-hikayat yang mereka ceritakan ini mengan-dung beberapa perkara yang batil, di antaranya:

a. Jasad Rosululloh   yang telah dikubur dapat kembali ke alam dunia. Padahal Alloh   berfirman:
“Dan di belakang mereka terdapat dinding (pe-misah antara alam kubur dengan alam dunia) sampai hari mereka dibangkitkan (hari kiamat)”. (QS. al-Mu’minun [23]: 100)

b. Bahwa Rosululloh   sekarang ini belum meninggal dunia. Padahal Alloh   berfirman:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan merekapun akan mati (pula).” (QS. az-Zumar [39]: 30)
Kedua perkara ini cukuplah sebagai bukti tentang sikap berlebihan (pengkultusan) mereka terhadap pribadi Rosululloh  .

Ketika keyakinan mereka ini mulai terkuak, maka muncullah beragam interpretasi (tafsir) di dalam meng-aburkan maksud kalimat “melihat Rosululloh   dalam keadaan terjaga”. Di antara mereka ada yang mengata-kan bahwa Rosululloh   bisa dilihat dengan menjelma sebagai seorang syaikh tarekat mereka. Sebagian mereka menafsirkan bahwa Rosululloh   bisa dilihat dengan mata hatibukan dengan mata kepala. Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa Rosululloh   bisa dilihat dalam keadaan antara tidur dan jaga atau yang dilihat itu adalah ruh beliau bukan jasadnya. Pendapat terakhir ini diucapkan oleh tokoh Sufi masa kini, yaitu Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki dalam kitabnya, adz-Dzakho’ir al-Muhammadiyyah hlm. 259.

Ternyata keyakinan ini –yang sebenarnya telah ter-kuak kebatilannya– dijadikan kaum Sufi sebagai salah satu jembatan untuk memunculkan ajaran-ajaran baru yang belum pernah diajarkan Rosululloh   di masa hidup beliau. 

Demikian pula pernyataan sesat yang dilontarkan Umar al-Futi, bahwa Ahmad at-Tijani (pendiri tarekat at-Tijaniyah) pernah diizinkan oleh Rosululloh    untuk mengajarkan kepada manusia setelah ia ber-kholwat, kemudian beliau menetapkan sebuah wirid tertentu kepada dirinya, dan sebelumnya beliau mengabarkan tentang kedudukan Ahmad at-Tijani yang tinggi, keu-tamaan wirid tersebut dan janji Alloh kepada siapa saja yang mencintai Ahmad at-Tijani dari kalangan pengi-kutnya (Rimaahu Hizbirrahiim 1/191).

Muhammad as-Sayyid at-Tijani mengungkapkan bahwa Rosululloh   bersama para Khulafa’ur Rosyidin pernah menghadiri majelis wirid Ahmad At-Tijani. Lalu beliau   memberikan syafa’at kepada hadirin ketika itu. (al-Hidayah ar-Robbaniyyah, hlm. 12)

10. Tasyabbuh dengan Orang-orang Kafir
Tasyabbuh (menyerupai) kaum kafir adalah salah satu sebab terjatuhnya seseorang ke dalam kesesatan. Hal ini pulalah yang terjadi di zaman kita sekarang ini. Karena mayoritas dari kalangan kaum Muslimin telah bertaqlid kepada kaum kafir pada amal-amal bid’ah dan syirik. Di antaranya ialah merayakan hari-hari besar yang tidak ada dalam Islam seperti: perayaan malam tahun baru, Valentine Day, hari ulang tahun seseorang, dan sebagainya. Begitu pula cara berpikir yang sekuler, yaitu memisahkan antara agama dan urusan-urusan dunia. Seolah-olah Islam itu diturunkan hanya untuk mengatur urusan peribadatan saja, tidak ada hak bagi Islam untuk mengatur masalah-masalah ekonomi, politik, kebijakan pendidikan, seni budaya dan sebagainya.
Padahal Rosululloh   telah memperingatkan umat-nya dari bahaya tasyabbuh ini. 

Rosululloh    bersabda:
(( مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ))
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)

Selain sumber-sumber klasik di atas, kita dapati pula sumber-sumber kontemporer yang mensuplai racun-racun penyesat bagi keislaman seorang Muslim di zaman ini, zaman di mana peradaban Barat yang materialis dan ateis sedang berkibar megah. Di antaranya ialah:

11. HAM (Hak Asasi Manusia)
Tidak sedikit dari kaum Muslimin yang menimba filosofi kehidupannya dari pemahaman-pemahaman HAM yang sering kali sampai kepada penuhanan manusia. Bahkan HAM buatan manusia ini sering kali dijadikan sebagai pelindung kemurtadan. Mereka pun sangat gencar menyuarakan HAM (Hak Asasi Manusia) seraya melu-pakan hak-hak Alloh   atas manusia. Mereka menolak tuntutan hukum-hukum Alloh   atas manusia dengan alasan tuntutan hukum-hukum tersebut bertentangan dengan HAM. Mereka berteriak nyaring jika ada pelang-garan terhadap HAM, tetapi bersikap dingin jika ada pelanggaran terhadap hak-hak Ilahi. Di otak-otak mereka yang telah terkontaminasi oleh virus sekularisme itu hak manusia lebih tinggi dan lebih agung daripada hak Robbul ‘alamin (Dzat Yang Menguasai alam semesta). Jika terjadi pertentangan antara hak-hak manusia dengan hak-hak Robbul ‘alamin, maka yang harus diprioritaskan adalah hak-hak manusia. Sedangkan hak-hak Alloh   tidak ada masalah untuk dikorbankan. 

Hal ini tidak menyangkal bahwa pada poin-poin HAM yang dibuat oleh manusia itu ada yang sesuai dengan syari’at Islam. Memang benar, tidak semua kandungan HAM itu bertentangan dengan syari’at Alloh  . Akan tetapi ketika madu dan racun harus diminum sebagai satu paket, maka seluruh minuman itu adalah racun.

Dengan dalih HAM beragam aliran-aliran sesat di-lindungi. Dengan dalih HAM pornografi dan pornoaksi dibebaskan. Dengan dalih HAM pula perdukunan dan mistik dilegalkan. Jika demikian halnya, adakah kekufuran yang lebih nyata dari ini?

12. Tafsir Liberal
Dewasa ini mulai mucul cara menafsirkan al-Qur’an dan nash-nash syar’i dengan tafsir yang tidak memiliki metodologi yang jelas. Tafsir ini tidak mempunyai standar tertentu, ia tidak lain hanyalah pemanjaan terhadap hawa nafsu belaka. Ke mana saja hawa nafsu mengarah, maka ke sanalah tafsir tersebut mengarah. Dalam tafsir para penganut aliran ini, sedikitpun kita tidak menemukan keharuman nama ulama-ulama Islam. Pakar-pakar mereka berkiblat kepada Yahudi dan Nasrani, serta berguru kepada tokoh-tokoh kedua umat sesat tersebut.
Anehnya, mereka menamakan kekacauan tafsir mereka itu dengan ijtihad.

13. Media, khususnya televisi
Pada tahun-tahun terakhir ini, televisi banyak sekali menayangkan program-program acara dan sinetron-sinetron yang sangat bertentangan dengan aqidah, namun dikemas dengan kemasan ‘Islam’. Banyak sekali isi dari sajian-sajian sesat tersebut yang kemudian menjadi bagian dari aqidah seorang Muslim. 
Inilah beberapa sumber-sumber kesesatan yang wajib diketahui dan diwaspadai. Semoga Alloh   menjauhkan kita dari semua sumber-sumber kesesatan tersebut, menjaga kita dari berbagai fitnah (cobaan) yang meng-gelincirkan, dan membimbing kita semua untuk berpe-gang teguh dengan jalan-Nya yang lurus. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa.


Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.