Adab Amar Ma’rūf dan Nahi Munkar


Di antara adab-adab yang harus diperhatikan dalam melakukan amar ma’rūf dan nahi munkar adalah:

1. Ikhlash.
Artinya orang yang hendak melaksanakan amar ma’rūf dan nahi munkar itu harus meniatkan dengan amalnya pahala akhirat dan ridha Alloh  . Tidak  boleh ada di dalamnya kepentingan pribadi atau pamrih duniawi. Orang yang melaksanakan amar ma’rūf dan nahi munkar harus senantiasa mengingat baik-baik perkataan para Nabi kepada kaumnya: 
“Wahai kaumku, aku tiada meminta harta kepada kalian (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Alloh....” (QS. Hud [11]: 29)

2. Membekali diri dengan ilmu.
Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang hukum-hukum Alloh  . Lebih mendalam bekal ilmu yang ia miliki akan lebih baik. Ilmu semacam ini perlu agar seorang yang melakukan amar ma’rūf dan nahi munkar tahu persis bahwa perkara yang dia perintahkan itu benar-benar ma’rūf (sesuai dengan syariat) dan apa yang ia larang itu benar-benar munkar (dilarang oleh syariat). Tanpa ilmu yang benar, terkadang seseorang mengajak kepada suatu ritual (peribadatan) yang sebenarnya tidak syar’i, atau mencegah suatu perkara yang sebenarnya tidak munkar. Oleh karena itu, sangat diperlukan ilmu yang memadai dalam hal ini.

Akan tetapi ini bukan berarti bahwa orang yang awam tidak perlu melakukan amar ma’rūf dan nahi munkar. Ia tetap wajib melakukan amar ma’rūf dan nahi munkar sebatas ilmu yang dimilikinya. Karena Rosululloh    telah bersabda: 
(( بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً ))

“Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat.” (HR. al-Bukhari)
Dalam hal-hal tentang wajibnya shalat lima waktu, puasa Ramadhan, atau haramnya khamar (minuman keras), berjudi dan mencuri, maka setiap Muslim adalah pakar tentangnya. Tidak ada yang tidak tahu. Maka ketika seorang Muslim melihat saudaranya meninggalkan shalat atau mencuri atau berkhalwat dengan perempuan yang bukan mahramnya, maka ia wajib menasihatinya.

3. Dengan Lemah Lembut.
Aktivitas amar ma’rūf dan nahi munkar harus disertai dengan sikap lemah lembut dan menjauhi cara-cara yang kasar. Hal ini karena Rosululloh    bersabda:

(( إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى الْعُنْفِ، وَمَا لاَ يُعْطِى عَلَى مَا سِوَاهُ ))
“Sesungguhnya Alloh itu lemah lembut, Dia mencintai kelembutan, dan Dia memberi karena kelembutan apa yang Dia tidak beri karena kekasaran atau sikap yang lain.” (HR. Muslim) 

(( إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ ))
“Sesungguhnya kelembutan itu tidak ada pada sesuatu melainkan membuatnya indah, dan tidaklah tercabut dari sesuatu melainkan membuatnya buruk.” (HR. Muslim)

Dalam hal ini kita bisa mengambil keteladanan dari kelembutan Rosululloh   terhadap seorang Badui yang kencing di masjid. Karena hal ini, orang-orang bangkit untuk memukulinya, akan tetapi Nabi    mencegah mereka seraya berkata, “Biarkanlah. Kemudian ambilkan seember air lalu siramkan pada bekas air kencingnya, karena sesungguhnya kalian diutus untuk menjadi orang-orang yang memudahkan bukan untuk menjadi orang-orang yang menyulitkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kita juga bisa mengambil pelajaran dari kisah Nabi Musa dan Harun e yang ketika hendak menghadapi Fir’aun, raja yang sangat zhalim dan sombong, dipesani oleh Alloh  :

“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas (thaghut). Lalu berbicaralah kepadanya dengan perkataan yang lemah lembut, boleh jadi ia menjadi tersadar atau takut. “ (QS. Thaha [20]: 43-44)
4. Memulai dari diri sendiri.

Seorang yang hendak menyuruh umat manusia kepada yang ma’rūf atau mencegah mereka dari kemunkaran hendaklah memulai dari dirinya sendiri. Ini bukan berarti bahwa orang tersebut harus bersih dari segala dosa sebelum beramar ma’rūf dan nahi munkar. Akan tetapi hendaknya ia mendahulukan keselamatan dirinya sebelum orang lain. Sebagaimana firman Alloh  :

“Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sementara kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca al-Kitab? Maka tidakkah kalian berpikir?” (QS. al-Baqarah [2]: 44)

Ini sangat perlu sekali sebab orang-orang akan melihat dan mengawasi dengan teliti sikap dan tingkah laku orang yang menyeru kepada kebaikan atau mencegah dari kemunkaran. Jika ia mengerjakan apa yang ia serukan kepada orang lain dan meninggalkan apa yang ia larang dari orang lain, maka orang lain akan menerima dakwahnya dan mendengarkan perkataannya dengan lapang dada. Akan tetapi jika ia mengabaikan hal itu, maka ia menjadi penyeru kepada kebaikan dengan lisannya namun menghalangi manusia dengan tingkah lakunya. 

BACA JUGA : Bahayanya Meninggalkan Amar Ma’rūf dan Nahi Munkar

Hal ini dipahami benar oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz  , maka ketika ia memangku jabatan khalifah dan bertekad mengembalikan barang-barang hasil kezhaliman kepada para pemiliknya, ia memulai dari dirinya dan keluarganya terlebih dahulu. Semua perhiasan istrinya dikembalikan ke Baitul Mal dan ia sendiri hidup dengan sangat bersahaja serta menjauhi kemewahan. Hasilnya, dalam waktu yang relatif singkat –yaitu dua tahun sekian bulan- beliau telah berhasil dengan gemilang mengembalikan semua barang-barang kezhaliman kepada pemiliknya yang sah. Rahasia dari keberhasilan itu tidak lain adalah karena ia memulai dari dirinya sendiri dan keluarganya.

Oleh karena itu, seorang yang melakukan amar ma’rūf dan nahi munkar hendaknya menjadi uswah hasanah (teladan yang baik) sehingga orang lain mau mendengarkan kata-katanya dan menerima seruannya. 
Alloh   berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?” (QS. ash-Shaff [61]: 2)
Seorang penyair berkata:
وَغَيْرُ تَقِيٍّ يَأْمُرُ النَّاسَ بِالتُّقَى 
طَبِيْبٌ يُدَاوِي النَّاسَ وَهُوَ سَقِيْمٌ

“Seorang yang tidak bertakwa menyuruh manusia untuk bertakwa, bagaikan dokter yang mengobati manusia sementara ia sendiri sakit.”
5. Mendahulukan yang paling urgen.
Seorang penyair berkata:
إِنَّ اللَّبِيْبَ إِذَا بَدَا مِنْ جِسْمِهِ
مَرَضَانِ مُخْتَلِفَانِ دَاوَى اْلأَخْطَرَا

“Sesungguhnya orang yang cerdik jika nampak pada tubuhnya dua penyakit yang berbeda, maka ia akan mengobati yang paling berat dari keduanya.”
Pada zaman ketika dakwah melemah dan syariat Islam tidak lagi diterapkan, maka berbagai macam kemunkaran bermunculan dan merajalela. Menghadapi situasi yang seperti ini, seorang yang beramar ma’rūf dan nahi munkar dituntut untuk mengetahui mana kemunkaran yang paling parah lalu memulai dengannya dalam merubah kemunkaran.

Alloh   telah menceritakan kepada kita kisah para nabi dan bagaimana mereka menghadapi kaumnya. Yang pertama kali diserukan oleh para Nabi tersebut kepada kaumnya adalah:
“Wahai kaumku sembahlah Alloh, sekali-kali tak ada sesembahan bagi kalian selain-Nya.” (QS. al-A’raf [7]: 59)
Ibnu Baththah   meriwayatkan dengan sanad yang kuat bahwa Ibnu Abbas   berkata tentang firman Alloh  :

“Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)....” (QS. al-Fath [48]: 4)

“Sesungguhnya Alloh mengutus Nabi-Nya   dengan membawa syahadat Lā ilāha illalloh (tiada Ilah yang berhak disembah selain Alloh), lalu ketika orang-orang yang beriman telah mengimani syahadat tersebut, maka Dia menambah mereka dengan kewajiban shalat. Ketika mereka telah membenarkannya (menerimanya), maka Dia menambah mereka dengan kewajiban zakat. Kemudian ketika mereka telah membenarkannya, maka Dia menambah mereka dengan kewajiban puasa. Ketika mereka telah membenarkannya, maka Dia menambah mereka dengan kewajiban haji. Ketika mereka telah membenarkannya, maka Dia menambah mereka dengan kewajiban jihad. Kemudian Dia menyempurnakan bagi mereka agama-Nya dan berfirman: 

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian....” (QS. al-Ma’idah [5]: 3)
Jadi, yang harus didahulukan adalah menanamkan keimanan dalam jiwa-jiwa manusia, mengajarkan kepada mereka tauhid yang murni dan membersihkan jiwa-jiwa mereka dari segala bentuk kesyirikan. Kemudian setelah itu barulah menangani hal-hal lain yang termasuk prioritas selanjutnya seperti shalat, dan kewajiban-kewajiban lainnya.

6. Bersabar dan tabah menanggung cobaan.
Seorang yang telah berbulat hati untuk menjalankan amar ma’rūf dan nahi munkar pasti akan menghadapi cobaan dan menerima gangguan. Hal ini sebagaimana para Nabi dan Rosul sebelum kita juga menerima gangguan dari kaumnya. Bahkan gangguan dan cobaan yang dihadapi mereka jauh lebih besar. Tetapi, mereka semua bersabar –demi mengharap pahala Alloh  - atas semua cobaan itu. Tidak hanya para Nabi, orang-orang shaleh sebelum kita pun juga menerima gangguan dan cobaan di jalan menegakkan amar ma’rūf dan nahi munkar.

Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash   bahwa dia berkata: “Wahai Rosululloh, siapakah manusia yang paling berat cobaannya?”, beliau menjawab;
(( الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ )) 
“Para Nabi, kemudian orang-orang yang menyerupainya lalu orang-orang yang menyerupai mereka. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar agamanya, jika agamanya kokoh maka ujiannyapun semakin besar, dan jika agamanya lemah maka ujiannyapun akan sesuai dengannya. Seseorang akan senantiasa ditimpa ujian sehingga ia berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki kesalahan.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan al-Albani) 

al-Qur’an telah mengabadikan kepada kita nasihat yang sangat berharga dari Luqman   kepada putranya:
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Alloh).” (QS. Luqman [31]: 17)
Dalam ayat di atas Luqman menyuruh putranya untuk bersabar setelah beramar ma’rūf dan nahi munkar. Hal ini karena untuk melaksanakan tugas ini sangat dituntut kesabaran dan keuletan. Tanpa kesabaran, maka seorang penyeru ke jalan Alloh   akan terhenti di tengah jalan.
Seorang penyeru ke jalan Alloh   harus meninggalkan sikap marah karena membalas cacian orang. Marahnya hanya boleh karena Alloh  , yaitu ketika larangan-larangan Alloh   dilanggar. Tidak boleh marah karena intishār li an-nafs (menuntut balas untuk dirinya). 

Tingkatan Mengingkari Kemunkaran 

Rosululloh   bersabda:
(( مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذٰلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ ))
“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Hadits tersebut menjelaskan kepada kita tentang tingkatan-tingkatan dalam mengingkari kemunkaran, yaitu:
1.Mengingkari dengan tangan.
Ini merupakan tingkatan tertinggi, seperti menghancurkan berhala dan menumpahkan minuman keras. Akan tetapi tidak semua orang bisa melakukan tingkatan ini. Jika hal ini dilakukan tidak dengan hati-hati, maka justru akan menimbulkan kemunkaran yang lebih besar lagi. Oleh karena itu, disyaratkan dalam tingkatan ini orang tersebut memiliki kekuasaan (wewenang), seperti seorang bapak terhadap anak-anaknya, seorang pemimpin terhadap rakyatnya, dan sebagainya.
2.Mengingkari dengan lisan.
Ketika tidak mampu merubah kemunkaran dengan tangan, maka pengingkaran berpindah kepada tingkatan berikutnya, yaitu dengan lisan. 
Caranya dengan menjelaskan hukum syar’i kepada pelaku kemunkaran bahwa apa yang dikerjakannya itu adalah terlarang. Terkadang perbuatan dosa dilakukan oleh seseorang karena kebodohannya, maka hal ini bisa dirubah dengan nasihat yang baik, pengarahan, dan targhīb (bujukan, motivasi) serta tarhīb (ancaman akhirat).

Beberapa langkah dalam mengingkari kemunkaran dengan lisan di antaranya adalah:
a.Nasihat dengan lemah lembut.
Alloh   berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Robb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Robbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl [16]: 125)

Ini bisa digunakan kepada pelaku dosa yang belum mengetahui hukumnya.
b. Melarang dengan memberi pengajaran, ceramah, dan menakut-nakuti.
Langkah ini berlaku bagi orang berbuat dosa yang mengetahui hukumnya. Orang tersebut diingatkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits tentang ancaman di dunia dan siksaan di akhirat. Begitu juga diingatkan dengan perkataan-perkataan salafus shaleh tentangnya.

Alloh   berfirman:
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 55
3. Mengingkari dengan hati.

Apabila seorang Muslim tidak mampu mengingkari kemunkaran dengan tangan atau lisan, maka harus mengingkari dengan hati, baik terhadap kemunkarannya, atau kepada pelaku kemunkaran tersebut. Karena tidak ada alasan lagi baginya untuk tidak mengingkari kemunkaran dengan hati. 
Pengingkaran dengan hati merupakan batas akhir keimanan, jadi tidak
 tersisa lagi iman setelah tingkatan ini.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah   berkata: 
“Barangsiapa yang dalam hatinya tidak ada kebencian terhadap perkara yang dibenci Alloh   dan Rosul-Nya  , yaitu perkara yang telah diharamkan seperti  kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan, maka tidak ada lagi dalam hatinya  keimanan. Dan jika secara asal tidak ada kebencian terhadap sesuatu yang telah diharamkan Alloh  , maka keimanannya tidak lagi bersamanya.”

Ya Alloh  , jadikanlah kami termasuk golongan hamba-hamba-Mu yang menyeru kepada yang ma’rūf dan melakukannya serta mencegah dari kemunkaran dan meninggalkannya. Dan jadikanlah kami sebagai orang-orang yang menegakkan hukum-hukum-Mu di muka bumi ini. Amin....

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.