KEWAJIBAN-KEWAJIBAN ISTRI SHALIHAH


Kemudian di antara pengetahuan dasar yang harus di-miliki oleh seorang Muslimah yang menjadi istri sholihah adalah, ia mengetahui dan memberikan hak-hak suami atas dirinya sebelum ia mengambil haknya atas suaminya. 
Di antara hak-hak suami yang harus dipenuhinya adalah:

1. Menaati Suami.

Seorang istri harus menaati seluruh perintah suami se-lama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Ketika pe-rintahnya bertentangan dengan syariat Islam, maka istri tidak boleh menaatinya sebab tidak ada ketaatan pada makh-luk dalam bermaksiat kepada Alloh  .
Ketaatan istri pada suami mempunyai makna yang sangat besar sekali dan faidahnya pun melimpah ruah. Di antara faidah-faidahnya adalah: (1) hubungan keluarga akan tetap langgeng dalam keharmonisan; (2) cinta dan kasih sayang suami akan teraih; (3) menjadi qudwah hasanah (teladan baik) bagi anak-anaknya, dan (4) yang paling berharga dari itu semua adalah, ia akan mendapatkan surga dan segala kenikmatan yang tersedia di dalamnya. 

Dalam hal ini Rosululloh   bersabda:
(( إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ ))
“Jika seorang istri menunaikan shalat lima waktunya, memelihara kehormatannya, dan taat pada suaminya, maka ia akan memasuki surga dari pintu mana saja yang disukainya.”  (HR. Ibnu Hibban)

Sungguh, Islam telah memberikan penghargaan besar atas ketaatan istri pada suaminya bahkan ketaatan seorang istri pada suaminya dalam Islam disejajarkan dengan jihād fī sabīlillah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas  :
“Ada seorang perempuan menghadap kepada Nabi   seraya berkata: “Wahai Rosululloh, saya adalah utusan dari kalangan kaum wanita. Tiada seorangpun dari mereka me-lainkan berharap agar saya segera menemui engkau. Alloh adalah Robb kaum lelaki dan wanita, dan engkaupun ada-lah rosul yang diutus untuk kaum lelaki dan wanita. Alloh telah mewajibkan jihād fī sabīlillah bagi lelaki. Jika mereka menang mereka mendapatkan harta rampasan, dan bila mati syahid mereka mendapatkan kehidupan dan rezeki di sisi Robb mereka. Maka jenis amalan apakah yang akan menyamai perbuatan tersebut? Maka Nabi   bersabda: “Ketaatan istri kepada suaminya dan memenuhi hak-hak suami. Namun, sedikit di antara kalian yang melakukan itu.” (HR. Ahmad dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabīr)

Sungguh hal ini merupakan kewajiban istri yang telah Alloh   tentukan bagi mereka. Seorang istri harus dapat melawan tabiat dan ego kesombongannya agar dapat meraih ridha Alloh   dan surga-Nya. Maka hendaklah istri memenuhi hak-hak Alloh   yang agung ini, kemudian hak suaminya, niscaya kebahagiaan yang hakiki akan teraih, manisnya cinta dan ridha Allohpun akan segera dirasakan-nya, kemudian kasih sayang suami ada dalam genggaman-nya. Inilah kenikmatan istimewa yang akan didapatkan oleh para istri yang taat kepada suaminya. Adapun kenikmat-an di akherat nanti, maka jauh lebih besar dan terasa lebih nikmat lagi. Ia akan mendapatkan surga yang di dalamnya terdapat berjuta kenikmatan dan selaksa kesenangan. 

Ketaatannya kepada suami pun harus berada di atas ketaatan kepada semua orang, termasuk ketaatan-nya kepada kedua orang tuanya. Hal ini dikarenakan keri-dhaan suami berada di atas keridhaan segalanya dari orang lainnya. Sehingga Rosululloh   mengabarkan kepada kita bahwa seorang istri yang meninggal dunia akan masuk surga dan mendapatkan segala kenikmatannya apabila suami ridha kepadanya.

Rosululloh   bersabda:
(( أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ ))
“Wanita mana saja yang meninggal dunia, sedangkan suaminya ridha kepadanya, maka ia akan masuk sur-ga.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim)

2. Memenuhi Ajakan Suami.

Di antara tujuan pernikahan adalah tercapainya penya-luran kebutuhan biologis antara suami istri. Ini merupakan kebutuhan yang mendasar bagi makhluk-makhluk Alloh   di muka bumi ini. Bahkan ia juga merupakan hal yang sangat penting bagi jiwa manusia dalam rangka menjaga kehormatannya.

Dengan keberadaan istri, suami dapat terjaga dari rayuan setan, kebutuhan biologisnya terpenuhi, nafsu syahwatnya terkendali, penglihatan dan kemaluannya terjaga, jiwanya merasa nyaman dan senang bersama istri yang senantiasa di sampingnya bahkan semangat ibadahnya bisa terpacu dengan itu semua.

Karena begitu urgennya masalah pemenuhan hasrat biologis bagi seorang suami, maka seorang istri tidak boleh menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan suami istri kapanpun ia meminta, kecuali dalam keadaan haid, akan tetapi seorang suami boleh melakukan hal lainnya, seperti mencium, mencumbu, memeluk atau bentuk inte-raksi lainnya yang dikategorikan sebagai istimtā’ (menik-mati tubuh istri) selain jimā’. 
Perhatikanlah dalil-dalil berikut yang menerangkan kepada kita akan ancaman Rosululloh   bagi siapa saja yang menolak ajakan suaminya.

Rosululloh   bersabda:
(( إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ ))
“Jika seorang istri bermalam, sedangkan ia memboikot ranjang suaminya, maka para malaikat melaknatinya hingga ia kembali.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu ‘Umar  , bahwa Rosululloh   bersabda:
(( مَا مِنِ امْرَأَةٍ يَطْلُبُ زَوْجُهَا مِنْهَا حَاجَةً فَتَأْبَى فَيَبِيْتُ وَهُوَ عَلَيْهَا غَضْبَانٌ إِلاَّ بَاتَتْ تَلْعَنُهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ ))
“Tidak ada seorang wanita yang diminta oleh suami-nya suatu kebutuhan (jimā’), kemudian ia menolak sehingga suaminya marah pada malam itu, kecuali ia dilaknat oleh para malaikat sampai pagi hari.” (HR. ath-Thabrani)

Dalam hadits riwayat ‘Ali bin Abi Tholib  , bahwa Rosululloh   bersabda:
(( إِذَا دَعَا الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ فَلْتَأْتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ ))
“Jika seorang suami mengajak istrinya, maka hen-daklah ia menyambutnya meski ia berada di dekat tempat pembakaran roti (sedang memasak).” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Hadits ini dengan sangat tegas menerangkan tentang kewajiban istri untuk memenuhi hajat biologis sang suami kapanpun waktunya. Hal ini dikarenakan kemampuan sang suami untuk menahan naluri seksnya tidak sekuat sang istri. Sementara dorongan itu senantiasa ada dan terus-me-nerus, sehingga jika sang istri menolak ajakan suami untuk menggaulinya, maka ia akan mendapatkan laknat dari para malaikat.

Sesungguhnya penolakan istri atas ajakan suami untuk melakukan hubungan akan menorehkan luka pada hati suami sebagai laki-laki, sehingga ia menjadi marah dan murka dan hal ini bisa menjadi sumber pertengkaran pasangan suami istri yang akhirnya membesar dan menjadi bom waktu dalam keluarga.

Kemudian untuk menegaskan hak suami atas istrinya dalam hal berhubungan, syariat Islam yang bijaksana ini juga melarang para istri untuk melakukan puasa sunnah di sisi suaminya kecuali dengan seizinnya.

BACA JUGA : SIFAT-SIFAT ISTRI SHALIHAH

Hal ini menunjukkan bahwa suami berhak untuk meng-gaulinya setiap saat ia menginginkanya, baik siang ataupun malam, dan ia berhak untuk mencegah segala sesuatu yang akan menghalangi keinginannya seperti puasanya seorang istri yang berada di sisi suaminya sebab puasa adalah salah satu penghalang suami untuk beristimta’ dengan leluasa atau berjimā’.

Dalam hal ini Rosululloh   bersabda:
(( لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنْ فِيْ بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدِّي إِلَيْهِ شَطْرَهُ ))
“Tidak dihalalkan bagi seorang istri berpuasa (sun-nah) sedang suaminya ada bersamanya kecuali atas seizinnya. Ia juga tidak boleh mempersilahkan orang lain masuk ke rumahnya kecuali dengan izinnya, dan harta yang ia infakkan bukan atas perintah sua-minya, maka setengah pahalanya dilimpahkan untuk suaminya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ada sebagian wanita Muslimah mengira bahwa mem-perbanyak beribadah kepada Alloh –meski mengurangi hak suami dan keluarganya– dapat menambah taqarrub (dalam rangka mendekatkan diri) kepada Alloh  . Padahal para istri wajib menunaikan hak Alloh   sepenuhnya tanpa kelalaian, kemudian juga memenuhi hak suami pada waktu bersamaan. Mari kita perhatikan kisah seorang sahabat, Shafwan bin Mu’aththal   bersama istrinya.

Abu Sa’id al-Khudhri   meriwayatkan, ada seorang wa-nita datang kepada Rosululloh   sedang kami ada di sisi beliau  , ia berkata: 
“Suamiku Shafwan bin Mu’aththal, memukuliku jika aku shalat, membatalkan puasaku jika aku berpuasa, dan ia tidak shalat shubuh sehingga matahari terbit.” Perawi meriwayatkan bahwa Shafwan juga ada bersama Nabi  , maka Rosululloh   lalu bertanya kepadanya tentang apa yang disampaikan istrinya itu. Kemudian ia menjawab, “Ya Rosululloh, adapun tentang ucapannya bahwa saya memukulinya ketika shalat, sesungguhnya ia membaca dua surat padahal aku telah melarangnya. Maka Rosululloh   kemudian bersabda “Sekiranya ia membaca satu surat, itu telah mencukupi manusia.” Ia melanjutkan, adapun ucapannya, bahwa saya membatalkan puasanya jika ia berpuasa, karena ia berpuasa (sunnah), padahal saya orang yang masih muda dan tidak sabar untuk menahan (gejolak biologis). Kemudian Rosul pun bersabda, “Seorang istri tidak boleh berpuasa (sunnah) kecuali atas izin suaminya.”. Adapun ucapannya bahwa saya tidak shalat shubuh hingga matahari terbit, sesungguhnya engkau telah mengetahui ihwal keluarga kami, kami hampir tidak bisa bangun hingga matahari terbit. Maka Rosululloh   bersabda, “Hai Shafwan, jika engkau bangun, maka shalatlah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

3. Tidak Keluar Rumah Tanpa Seizin Suami.

Bagi seorang istri, keluar rumah harus dengan seizin suaminya. Ini artinya haram baginya untuk keluar rumah sebelum mendapat izin dari suami. 
Rosululloh   bersabda:
(( لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ أَنْ تَأْذَنَ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ كَارِهٌ، وَلاَ تَخْرُجُ وَهُوَ كَارِهٌ ))
“Tidak halal bagi seorang istri mengizinkan (orang lain) memasuki rumahnya, sedang suaminya mem-bencinya. Dan ia tidak boleh keluar rumah sedang suaminya tidak menyukainya.” (HR. ath-Thabrani)

Bagi seorang istri, rumah adalah tempat teristimewa dalam kehidupannya. Di dalamnya dia bisa bebas beriba-dah kepada Alloh dengan aman dan leluasa, serta tidak menimbulkan fitnah bagi lelaki lain. Dalam surat al-Ahzab ayat 33, Alloh   memerintahkan para istri Nabi   untuk tetap berada di dalam rumah mereka, kemudian setelah perintah ini Alloh pun mengiringinya dengan perintah-perintah agung lainnya yaitu perintah mendirikan shalat, membayar zakat dan perintah taat kepada Alloh   serta Rosul-Nya  . 
Alloh   berfirman:

“Dan hendaklah kalian tetap di rumah-rumah ka-lian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat serta taatilah Alloh dan Rosul-Nya. Sesungguhnya Alloh bermak-sud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait (keluarga beliau  , termasuk istri-istri-nya) dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (QS. al-Ahzab [33]: 33)
Bagi wanita secara umum, baik statusnya sebagai gadis atau sebagai istri, rumah adalah benteng terkuat bagi aqidah dan kehormatannya. Hal inipun akan sangat membantu bagi kaum Muslimin untuk terhindar dari fitnah yang di-timbulkannya. Karena wanita adalah aurat dan jika ia ke-luar rumah, maka setan selalu mengintainya dan mendo-rong semua lelaki untuk melihatnya sehingga ia tergoda. 

Rosululloh   bersabda:
(( الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، وَأَنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَأَنَّهَا لاَ تَكُوْنُ أَقْرَبُ إِلىَ اللهِ مِنْهَا إِلاَّ فِي قَعْرِ بَيْتِهَا ))
“Wanita itu aurat, jika ia keluar dari rumahnya, maka setan akan mengintainya untuk menggelincirkan-nya, dan sesungguhnya tidaklah seorang wanita dalam keadaan lebih dekat kepada Alloh kecuali jika ia berada di tengah-tengah rumahnya.” (HR. ath-Thabrani dalam al-Ausath)

Hadits ini mengisyaratkan bahwa seorang wanita hen-daklah tidak keluar rumah kecuali karena urusan yang sa-ngat penting, itupun setelah ia menutup auratnya dengan sempurna serta harus diiringi oleh mahramnya jika bersa-far. Hal ini dilakukan untuk melindungi kehormatannya yang mulia dari penodaan kaum fasik dan orang-orang yang mempunyai penyakit dalam hatinya.

4. Memelihara Harta Suami Serta Qona’ah.

Harta adalah sarana kehidupan seseorang di alam fana ini. Tanpa harta kehidupan sulit dijalankan dengan baik. Dalam masalah ini suami mempunyai peran yang sangat besar, sebab tanggung jawab pemenuhan kebutuhan kelu-arga ada di atas pundaknya. Suami harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan seimbang, tidak berlebihan dan tidak kikir. 
Hal ini sesuai dengan firman Alloh  :

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (karena kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (boros) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. al-Isra’ [17]: 29)Istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Istri yang pandai dan bijak adalah yang senantiasa ber-upaya dengan penuh rasa tanggung jawab memelihara harta milik suaminya. Dan istri Mukminah adalah yang ridha dengan nafkah yang diberikan suami padanya sesuai de-ngan kemampuan yang Alloh   berikan kepada suaminya, baik dalam keadaan susah maupun lapang. Ia tidak marah kepadanya di saat kondisi kesulitan serta tidak bersikap berlebihan atau boros di saat lapang.

Istri yang bijak adalah yang mampu menyeimbangkan antara pemenuhan kebutuhan keluarga dengan penghasilan suaminya. Ia tidak membuat beban yang berat untuk suami-nya dan tidak pula tergiur  dengan hal-hal yang memikat atau materi orang lain, ia tidak menuntut suami untuk mem-beli sesuatu yang akan menjadi beban suami.

Rumah tangga Muslim haruslah dihiasi dan dipenuhi dengan rasa puas dan saling menerima (qanā’ah). Kerelaan serta sikap qanā’ah istri atas sedikitnya nafkah di saat ke-sulitan, merupakan bentuk rasa syukur yang sempurna kepada Alloh  . Dan istri yang cerdas adalah yang dapat mengatur dan mengelola seefesien mungkin penghasilan yang ada di saat sulit ataupun lapang. Ada sebagian dari istri-istri di mana Alloh   memberikan kepada mereka suami-suami yang kaya dan dermawan, sehingga mereka hidup serba kecukupan. 

Meski demikian, ada saja di antara mereka yang menge-luhkan kesempitan hidup dan ketidakpuasaan dalam me-nikmati apa yang dimilikinya. Ia tidak bisa mensyukuri nikmat-nikmat Alloh   tersebut dan merasa masih kurang saja, bahkan tidak pernah berterima kasih terhadap jerih payah suaminya dan kerja kerasnya sebagai wujud kasih sayang dan tanggung jawabnya yang besar. 

Dalam sebuah hadits disebutkan:
(( لاَ يَنْظُرُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ )) 
“Alloh tidak melihat kepada istri yang tidak berterima kasih kepada suami, padahal ia selalu bergantung dan membutuhkannnya.” (HR. al-Bazzar)
Istri yang bertakwa bisa bersikap lapang dan menerima di saat rezeki mengalami penurunan atau kondisi hidup sulit. Bahkan ia dapat bersabar dan rela dengan ketentuan Alloh  , serta qanā’ah dan merasa puas dengan pemberian-Nya tersebut. 

Dalam hadits riwayat Ibnu ‘Amr  , Rosululloh   bersabda:
(( قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ ))
“Sesungguhnya telah beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Alloh mem-berinya rasa puas dengan yang ada.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Istri Mukminah, bila kebetulan mendapatkan suami yang bakhil dan pelit padahal ia kaya, maka ia dibolehkan mengambil harta suaminya tanpa seizinnya, sebatas yang dapat mencukupi kebutuhannya serta kebutuhan anak-anaknya. 

Suatu ketika Hindun binti Atabah   istri Abu Sufyan , datang mengadu kepada Rosululloh  , perihal sifat bakhil suaminya terhadap dirinya juga anak-anakya. Ia berkata, “Wahai Rosululloh, Abu Sufyan adalah laki-laki yang bakhil, ia tidak memberikan nafkah yang cukup kepada saya juga anak-anak saya, kecuali harta yang saya ambil tanpa sepengetahuannya. Apakah yang saya lakukan itu dosa?”. Maka Nabi   menjawab, “Ambillah dari hartanya apa yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu secara wajar!” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud) 

5. Melayani Suami di Rumah.

Istri wajib melayani suami, mengasuh anak-anak, serta mengatur dan mengelola urusan kerumahtanggaan sebaik mungkin. Mulai dari memasak, mengatur dan membersih-kan rumah, dan lain-lain. Ia harus melayani suami dengan pelayanan yang baik. Sifat dan kualitas pelayanan ini tentu berbeda sesuai kondisi. Pelayanan yang diberikan istri di pedalaman (badui), tentu tidak sama dengan istri yang tinggal di perkotaan. Pelayanaan istri yang berfisik kuat tentu tidak sama dengan yang lemah. Dan itulah pendapat yang benar menurut para ulama.

Istri yang Mukminah hendaklah mengambil keteladanan dari kisah Fathimah binti Muhammad   (sayyidah para wanita penghuni surga), putri dari Rosul penutup. Ia sendiri yang melayani suaminya, sehingga kulit telapak tangannya melepuh ketika menggiling gandum. Ia memasaknya sendiri hingga menjadi roti.
Teladan lain dicontohkan oleh istri bapak para nabi, Ibrahim  . Suatu ketika, Ibrahim datang menemui istrinya dengan membawa sejumlah tamu dan anak sapi gemuk agar dimasak. Sesaat kemudian, ia memasak dan menghidangkan daging tersebut kepada tamu-tamunya, yaitu para malaikat. 
Alloh   berfirman:

“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang para tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salāmun (kese-lamatan bagi kalian).”. Ibrahim menjawab: “Salāmun, (kalian) adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka ia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk, lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu ber-kata: “Silahkan kalian makan.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 24-27)
Yang sungguh mengherankan saat ini adalah, laki-laki yang menikahi perempuan kemudian ia mendapati istrinya hanya bisa menyebut nama-nama restoran, bahkan memasak sayur saja ia tidak bisa. Boleh saja, si suami mendatangkan orang lain (pembantu) guna membantu istrinya dalam hal-hal demikian jika sangat dibutuhkan dan mampu menjaga etika Islam.

Namun istri tetap berkewajiban melayani suami. Hal ini bukan berarti suami tidak dianjurkan untuk membantu urusan istrinya jika memungkinkan, baik waktu ataupun tenaganya, bahkan hal ini merupakan bentuk pergaulan yang baik antara suami istri.
Dalam sebuah hadits, ‘Aisyah   berkata:
“Adalah Rosululloh   membantu urusan (perkerjaan) istrinya. Bila waktu shalat tiba, beliau bergegas menuju masjid.” (HR. al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan Ahmad)
Imam Ahmad dan Ibnu Hibban juga meriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, ia berkata: 

“Saya bertanya kepada Aisyah, tentang apa yang dilaku-kan Rosululloh   ketika berada di rumah? ‘Aisyah menjawab, “Rosululloh   biasa menjahit pakaian, mengesol sandal, serta melakukan perkerjaan-perkerjaan yang biasa dilakukan kaum lelaki di rumah mereka.” 
Dalam redaksi riwayat Ibnu Hibban disebutkan:

“Rosululloh   melakukan pekerjaan yang biasa dila-kukan oleh seseorang di antara kalian di rumahnya.” Dalam riwayat Ibnu Hibban dan Ahmad, riwayat dari az-Zuhri dari ‘Aisyah, “Rosululloh   biasa mengesol sandal, men-jahit pakaian serta menambal ember.”
Dan dalam riwayat lain, “Beliau adalah manusia biasa. Beliau biasa menjahit pakaian, memerah susu kambing, dan melayani diri sendiri.”

6. Mendidik Anak-Anaknya.

Sesungguhnya, tugas paling baik dan mulia bagi istri adalah jika ia dapat mendidik sendiri anak-anaknya dan tidak menyerahkannya kepada pembantu atau orang lain. Inilah tugas utamanya dalam rangka membentuk masyarakat yang Islami. 

Rosululloh   pernah bersabda:
(( الْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِىَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا )) 
“Istri adalah pemimpin di tengah keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban akan hal itu.” (HR. al-Bukhari)

Nabi   pernah memuji perempuan yang mengasuh anak-anaknya, dimana beliau bersabda:
(( خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ اْلإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ ))
“Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita-wanita Quraisy yang sholihah, yaitu yang paling sayang kepada anaknya di masa kecil, serta yang paling dapat menjaga harta suaminya.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Hadits ini mengisyaratkan keutamaan yang dimiliki wanita-wanita Quraisy, juga sifat-sifat mereka. Yaitu, kasih sayang penuh kepada anak-anaknya, memberikan pendi-dikan yang baik kepada mereka, serta pemeliharaan yang baik jika mereka dalam keadaan yatim. Juga bentuk ihwal lain seperti memelihara hak suami yang terkait dengan hartanya, menjaga amanah atasnya, baik dalam mengelola maupun ketika menggunakannya, sehingga tidak sampai boros dalam membelanjakannya.

7. Memelihara Kesucian Diri.

Dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari  , Rasulullah   bersabda:
(( مَنْ حَفِظَ مَا بَيْنَ فُقْمَيْهِ وَفَرْجَهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ ))  
“Barangsiapa menjaga sesuatu yang ada di antara dua rahangnya (lidah) dan dua pahanya (kemaluan), nis-caya ia masuk surga.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)

Sikap menjaga diri yang dimiliki seorang istri merupa-kan permata yang harus senantiasa dipelihara. Ia merupa-kan senjata untuk mempertahankan kemuliaan dan kehor-matannya. 
Sikap menjaga kesucian diri (‘iffah) seorang istri dalam keluarga merupakan tiang utama penyangga bangunan pendidikan anak dan keluarga, serta jalan yang lurus guna menanamkan nilai-nilai keutamaan dan kemuliaan kepada anak-anak.

Seorang istri, jika ia mampu memelihara diri, akan kuasa pula membentengi diri dari godaan dan cinta palsu, sehingga sifat ‘iffahnya menjadi sandaran kala ia merasa lemah iman, menjadi pengarah di kala goyah dan tidak akan salah arah, menjadi pelita saat ia dalam kegelapan, dan bahkan men-jadi perhiasaanya sepanjang masa, dan menjadi asas keba-hagiaannya berikut keluarganya di masa depan.

Kehidupan berkeluarga tidak bisa sempurna kecuali dengan sifat ‘iffah dan amanah. Jika keduanya hilang dari kehidupan sebuah keluarga, maka hilang pula kebahagiaan dan keharmonisannya. Benteng-bentengnya runtuh dan jalur nasabnya akan bercampur aduk.

Tidak ada cacat, baik bersifat psikis maupun fisik yang dapat menghilangkan kebabahagiaan suami istri serta keharmonisannya yang lebih parah dari tindakan khianat yang dilakukan istri terhadap suaminya. Islam telah menegaskan tentang betapa urgennya seorang istri menjaga rumah suaminya, sehingga tidak ada pria lain yang boleh masuk tanpa seizin suaminya.

8. Menjaga Kesehatan dan Kebersihan Diri.

Seorang istri sholihah, selain memelihara kesucian diri dari hal-hal yang mampu merusak pribadinya, maka iapun adalah seorang yang mampu menjaga kesehatan serta ke-bersihan dirinya.

Istri yang sehat, bersih dan selalu ceria di hadapan suami tentu akan lebih disayangi dan dimanja olehnya. Suami akan merasa senang dan tenang bersamanya bahkan ia tidak bosan untuk selalu dekat dengannya.

Istri yang pandai menjaga kebersihan mulut akan men-jadikan suami senang berbicara dan bercanda dengannya. Sebagaimana suami akan senang menyentuh kulitnya jika dia mempunyai kulit yang indah terpelihara.

Lain halnya ketika istri tidak pandai menjaga kebersihan dirinya, mulutnya tidak segar, kulitnya penuh dengan ko-toran bahkan sampai dipenuhi dengan jamur kulit, maka dengan sendirinya suamipun tidak akan mau mendekati-nya lagi. Walaupun ada suami yang mendekati maka sikapnya akan beda dan jauh dari apa yang dikehendaki. Jika terjadi hal seperti ini, maka janganlah seorang istri menyalahkan sang suami, sebab ia adalah manusia biasa yang secara naluri benci dengan hal-hal yang kotor.

Syariat Islam telah mengisyaratkan akan keagungan hidup bersih. Di antaranya ketika seorang Muslim hendak mengerjakan ibadah yang disyaratkan kesucian di dalam-nya maka Islam mewajibkan untuk bersuci terlebih dahulu yaitu mandi jika ia berhadats besar atau wudhu jika ia ber-hadats kecil, dan mandi serta wudhu adalah sarana untuk menghilangkan hadats yang ada di dalam tubuh sekaligus alat untuk membersihkan anggota badan.

Bersiwak atau gosok gigi serta memakai wewangian adalah dua amalan yang sangat disukai oleh Rosululloh   dan ia sangat menganjurkan umatnya untuk melakukannya. 

Dari Abu Hurairah  , ia berkata bahwa Rosululloh   bersabda:
(( لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ ))
“Seandainya tidak akan memberatkan umatku, maka aku akan memerintahkan (mewajibkan) mereka bersiwak pada setiap akan shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari sini, kita mengetahui bahwa kebersihan secara umum, baik bersih jiwa atau anggota tubuh adalah sifat dari para Mukminah dan istri sholihah.

9. Hak-hak lainnya.

Ada hak lain yang harus diperhatikan oleh istri, antara lain: (1) bersikap lemah lembut di hadapan suami serta menghampirinya dengan segala yang disukai suami; dan (2) bergaul dengan baik terhadap keluarga suami, menyam-but mereka dengan ramah, mengunjungi mereka, selalu mencari tahu tentang keadaan mereka, serta ikut merasa bersama mereka, baik di saat suka ataupun duka.
Inilah di antara hak-hak suami yang menjadi kewajiban seorang istri untuk memenuhinya.

BACA JUGA : ISTRI SHOLIHAH ANUGERAH TERINDAH

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.